Bab 029

267 51 3
                                    

Galaxy 000

Di ruang singgahan yang luas dengan prajurit yang menjaga di luar pintu, terlihat seseorang sedang duduk di kursi. Mata berwarna coklat dengan wajah yang angkuh menata dengan acuh tak acuh ke arah seorang anak berambut emas.

Ruang tersebut sangat sunyi, tidak ada suara selain suara nafas satu sama lain. Menteri yang berada di samping untuk melaporkan segala macam hal terdiam, tidak berani bernafas karena suasana yang canggung.

Hingga suara bermartabat terdengar memecahkan kesunyian.

"Jadi, kamu datang ke sini hanya untuk melaporkan sesuatu yang tidak begitu penting?" Tanyanya.

Ada keheningan yang singkat sebelum suara laki-laki dewasa terdengar.

"Ini penting ayah baginda . . . "

Sebelum dia melanjutkan, suara tegas memotong ucapnya.

"Cukup Jesse!" Ucapnya yang membuat Jesse terdiam dan menundukkan kepalanya sambil mengepalkan tangannya.

"Apa lagi yang ingin kamu lakukan, itu hanya masalah sepele." Jedanya, "Saudara mu sudah di hukum atas kesalahannya, dan dia sedang melakukan misi terkahir yang aku berikan padanya. Tidak ada lagi bantahan, itu hanya pertengkaran antara teman tidak perlu di ungkit lagi."

Jesse hanya bisa menggertakan giginya, dan tidak mengucapkan apapun lagi. Melihat anaknya tidak lagi membantah, Arthur hanya melihat anak sulungnya dengan tatapan rumit.

"Kamu kembali lah, kerjakan pekerjaan mu dengan benar. Aku tidak akan mendengar apa yang kamu katakan dan berpura-pura tidak tahu apa-apa."

Dengan enggan Jesse meninggalkan ruangan singgasana, tangannya terkepal sangat kuat. Jesse tahu jika ayahnya sengaja untuk melindungi adiknya, meski dia terlihat tidak peduli. Tapi Jesse sangat membenci semua tentang Raffael, rasa benci ini sudah sangat mengakar di dalam hatinya sejak kejadian lima belas tahun yang lalu.

Arthur yang melihat Jesse telah pergi hanya bisa menghela nafas, memijat pangkalan hidungnya dengan ringan untuk menghilangkan rasa pusing. Entah kenapa Jesse telah berubah sejak kejadian tersebut, meski dia selalu adil kepada anak-anaknya. Tapi memang benar dirinya hanya mencoba melindungi Raffael dari bahaya yang mengincar kekuatannya.

Menteri yang melihat Arthur terlihat sangat lelah, memberikan solusi untuk beristirahat.

"Baginda bagaimana jika anda istirahat terlebih dahulu. Anda terlihat sangat lelah."

Arthur hanya bersenandung, menyetujui saran dari bawahannya. Ketika dia akan bangun dari kursi, Arthur merasakan detak jantung miliknya semakin cepat dan ulu hatinya sangat menyengat. Membuat tubuhnya jatuh kembali ke tempat duduk yang buat Menteri tertegun.

"Baginda apa anda baik-baik saja?"

Arthur tidak menjawab, dia memejamkan matanya dengan erat mencoba untuk menghilangkan rasa sakit yang entah kenapa datang begitu tiba-tiba. Hingga perasaan yang seharusnya tidak dia rasakan kini kembali datang yang membuat dirinya tertegun.

"Ini . . . " Pupil matanya melebar ketakutan dengan suara yang gemetar.

"Ada apa baginda?" Tanyanya Menteri dengan ketakutan.

Arthur tidak menjawab, dia bisa merasakan kekuatan Raffael yang seharusnya tidak dia gunakan. Dengan perasaan khawatir, Arthur mengabaikan rasa sakit yang menyengat. Dia berdiri mencoba untuk menekan rasa sakitnya.

"Raffael melakukan misi terakhir dengan kesulitan Level apa?" Tanyanya dengan nada gemetar.

Menteri yang mendengar langsung menjawab, "Tingkat kesulitan SSS."

"Itu tidak mungkin, pasti lebih." Bantah Arthur.

"Apa yang anda katakan yang mulia."

Arthur tidak menjawab dan langsung pergi meninggalkan aula singgahan dengan langkah tergesa-gesa, mengabaikan perasaan tidak menyenangkan dalam tubuh miliknya.

Dia dapat merasakan kekuatan Raffael meski berada jauh, jika Raffael menggunakan kekuatan yang seharusnya di segel itu dapat membahayakan nyawanya. Misi ini harus segera di hentikan, tidak boleh di lanjutkan. Jika tidak, bahaya yang lebih menakutkan akan datang.

***

Raffael berdiri di atas tebing dengan tatapan kosong menatap ke arah langit dimana awan berwarna abu-abu terlihat dengan sangat jelas. Suara auman Zombie terdengar meraung gelisah seperti merasakan bahaya yang menakutkan akan datang menimpa mereka.

Hembusan angin dingin menerpa kulit mereka yang membuat siapa saja menggigil. Hingga Renjun merasakan sesuatu jatuh dari langit, membuat matanya terbuka dengan lebar.

"Salju." Gumamnya.

Bukannya hanya Renjun yang melihat beda putih yang melayang dari atas langit, Haechan dan yang lainnya pun dapat melihat salju turun dari langit satu persatu.

"Ini?" Tanya David dengan bingung.

"Apakah cuacanya berubah?" Tanya Haechan ketika melihat salju turun semakin lebat.

Raffael hanya terdiam, menghela nafas dengan tatapan dingin ke arah ribuan Zombie yang semakin mengepung mereka.

"Mati." Gumam Raffael yang tersapu oleh angin malam.

Ketika suara itu jatuh, dengan kecepatan yang sangat cepat. Satu persatu Zombie menjadi patung es dengan kecepatan yang sulit di percaya. Ribuan Zombie yang mencoba untuk melangkah menjadi kaku tidak bisa bergerak dan berakhir menjadi patung es.

Begitupun dengan Zombie Level tiga, yang berusaha untuk melarikan diri tidak luput berubah menjadi patung es. Semua yang melihat adegan dengan mata telanjang merasakan ngeri ketakutan. Bahkan Renjun yang selalu berada di dekat Raffael pupil matanya gemetar tidak percaya.

"Hancurkan." Suara acuh tak acuh yang tidak peduli pada apapun terdengar kembali.

Siulan angin terdengar dari segala arah seperti badai salju yang mengamuk, semua orang yang berada di atas tembok mencoba menutup mata mereka dari butiran salju yang mengamuk.

"Semuanya berlindung!" Perintah Renjun.

Mendengar perintah dari Renjun, semuanya langsung tiarap mencoba untuk melindungi diri mereka sendiri dari badai yang mengamuk. Pasukan Zombie yang menjadi patung es semuanya di hancurkan berkeping-keping oleh badai salju yang mengamuk.

Suara siulan angin begitu sangat kencang, tapi sosok yang berdiri teguh dengan jubah hitam masih belum tumbang sekali pun. Raffael masih berdiri dengan hembusan angin yang meniup setiap helai rambut miliknya.

Hingga perubahan terjadi pada rambut Raffael yang berwarna hitam, Renjun dekat di samping Raffael melihat rambut Raffael berubah menjadi putih yang membuat kulitnya sudah pucat semakin pucat.

Sistem yang melihat perubahan dari tuannya, mencoba untuk menghentikannya.

[Sistem: Tuan hentikan!]

Raffael tidak menjawab hanya terdiam.

[Sistem: Tuan jangan lakukan ini, hentikan! Ini berbahaya jika energi mu habis!]

Masih tidak ada jawabannya.

[Sistem: Tuan tolong hentikan jangan menyiksa diri mu!]

Tidak ada jawaban, Raffael masih acuh tak acuh. Sistem sudah mencoba untuk menghentikannya, tapi di abaikan oleh Raffael. Hingga semuanya berhenti begitu saja seketika, pandangan ribuan Zombie kini berubah menjadi butiran es dengan salju turun dari langit dengan sangat damai.

Semua orang yang merasakan semuanya sudah berakhir mengangkat kepalanya dan melihat pemandangan yang menakjubkan. Tapi sebelum mereka bisa terpana, Raffael yang sejak tadi berdiri dengan teguh langsung memuntahkan darah dari mulutnya. Renjun yang melihatnya ketakutan dan langsung mendukung tubuh Raffael yang ambruk seperti selembar kertas.

"RAFFAEL!" Teriak Renjun.

TBC

SURVIVAL!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang