28. Serangan Fajar

43 10 0
                                    


Nala duduk sendirian di teras posko. Ia masih menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian kecelakaan pagi tadi. Hari ini, Bella tidak dapat kembali ke Posko karena harus dirawat di rumah sakit. Rasanya kepala Nala hampir pecah. Pertengkaran hebat yang terjadi antara ia dengan Gara juga membuat kepalanya serasa tambah penuh.

Nala menghela napas panjang, kemudian mendongak untuk melihat langit. Bisanya, ia akan curhat panjang lebar pada Gara, tetapi kini mereka tengah terjebak perang.

“Ini semua bukan salah lo.” Hawu datang dan menyodorkan segelas teh hangat.

Gadis berponi itu menoleh dan menerima teh yang diulurkan oleh Hawu.

“Kecelakaan tadi bukan sepenuhnya salah lo, Nala.” Laki-laki mungil itu kembali mengulangi kalimatnya karena ia bisa melihat kalau sahabatnya tidak memberikan respons pada kata-katanya.

“Gara bener. Kalo aja, gue nggak sakit kepala, kecelakaan tadi nggak akan kejadian.”

“Gue yang salah. Lo gantiin jadwal piket gue buat belanja. Harusnya gue pilih ngelaksanain piket daripada ngecat lapangan.” Hawu menunduk dalam. Laki-laki berambut lebat itu memang meminta tolong pada anggota kelompok untuk menggantikannya karena ia sudah memiliki janji dengan pemuda desa untuk mengecat lapangan.

“Lo nggak tahu kalo gue sakit. Lagian gue juga, kan, yang nyodorin diri buat gantiin lo?" Nala tersenyum kaku.

Hawu masih merasa bersalah. Ia tetap duduk di sana hingga beberapa saat kemudian, barulah ia kembali buka suara. "Baru kali ini gue liat lo sama Gara berantem sehebat itu. Gue nggak pernah liat Gara semarah itu sama lo."

Nala kembali memandang langit. Ia menghela napas dalam. "Kayaknya emang itu yang pertama kali. Gara itu nggak pernah tahan berantem sama gue lebih dari satu hari. Dia juga nggak pernah ngebentak gue. Gue nggak tahu dia kerasukan apa sampe ngajak gue berantem kayak tadi pagi."

"Menurut gue, Gara kayak gitu karena dia sayang sama lo." Hawu menyeruput teh hangatnya.

"Kalo sayang, harusnya dia nggak ngebentak gue kayak tadi. Harusnya dia orang yang paling paham kalo gue nggak suka dibentak." Kini Nala tidak lagi memandang langit, tetapi malah memandang Hawu yang duduk di sampingnya.

Hawu tersenyum hingga deretan gigi rapinya terlihat. "Dia lagi panik, Nala. Lo tahu, tangan dia sampai gemeter begitu denger kalo lo kecelakaan. Dia juga bawa motor kayak setan di jalanan kampung. Semua buat lo, Nala. Menurut gue, nggak etis aja lo marah sama Gara cuma karena masalah tadi pagi."

Nala terdiam. Kata-kata Hawu membuat ia terpaksa mengingat kejadian tadi pagi.

"Jadi lo nyalahin gue?" Suara Nala semakin tinggi. Kini matanya juga sudah berapi-api.

Gara mengembuskan napas kasar. "Gue nggak nyalahin lo buat kecelakaan tadi. Gue nyalahin lo, yang dengan bodohnya malah hujan-hujanan sama Arka sampe sakit!"

"Cukup, ya, lo ngatain gue bodoh!"

"Emang lo bodoh Nala! Lo nggak bisa bedain mana rasa sayang, mana obsesi. Kalo lo sampai berubah dan nggak jadi diri lo sendiri, itu namanya obsesi bukan rasa sayang. Lo sengaja maksa diri buat ngelewatin kemampuan lo cuma untuk nemenin Pangeran Dua Ratus Rupiah lo itu ujan-ujanan."

"Lo nggak punya hak buat ngatur-ngatur hidup gue!" Nala meremas ujung bajunya. "Lo malah beneran ngajakin gue berantem, ya? Kalo emang lo ke sini cuma mau ngajakin gue berantem, sana pulang!"

Tanpa terduga, Gara langsung menuruti perkataan Nala. Laki-laki berhidung mancing itu segera pulang tanpa bicara lebih dulu pada Hawu yang ternyata telah mendengarkan percakapan mereka sebelumnya.

SNORLAX ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang