"Hai, masih sibuk?" sapa Renata saat berada tepat di samping Jendra duduk.Pria yang tengah berhadapan dengan laptopnya itu menoleh menatap sang istri yang tengah menautkan jari jemarinya.
"Makan siang sudah siap," imbuhnya.
"Kamu sudah lapar?" Dia balik bertanya.
Renata tak menjawab, sejak pagi dia memang belum makan.
"Oke. Kamu belum makan! Ayo!" Jendra mematikan laptop lalu bangkit.
"Lain kali kalau kamu mau makan, kamu bisa makan duluan. Nggak perlu menungguku. Aku nggak terbiasa makan pagi dan nggak terbiasa makan tepat waktu seperti kamu," ujarnya lalu memberi isyarat agar sang istri melangkah mengikutinya.
"Tapi makan tepat waktu itu baik untuk kesehatan." Renata mencoba menimpali.
"Aku tahu."
"Kalau tahu kenapa nggak makan tepat waktu?"
Jendra membalikkan badannya membuat Renata hampir saja menabrak dada bidang pria itu. Aroma segar dan maskulin menyeruak memanjakan indra penciumannya. Entah mengapa dia merasa akrab dengan aroma itu. Sejenak Renata diam mencoba mengingat di mana dia pernah menghidunya.
"Ehem!" Deheman Jendra membuat pipinya merona. Karena sibuk mengingat parfum yang dipakai sang suami, dia tak sadar jika posisi mereka sangat dekat.
"Masih butuh jawaban kenapa aku nggak makan tepat waktu?"
Perempuan berambut sepunggung itu hanya menunduk menyembunyikan parasnya yang masih terasa hangat.
"Karena aku hidup sendiri dan bebas menentukan kapan aku makan dan tidak," paparnya. "Ayo! Aku tahu kamu lapar, kan? Aku tahu kebiasaan perempuan manja seperti kamu pasti nggak bisa telat makan!" Jendra meraih tangan Renata kemudian mengajaknya menuju ruang makan.
Tak membantah dia mengikuti langkah Jendra yang terus memegang tangannya.
"Kamu yang masak?" tanyanya saat melihat hidangan di meja makan.
"Bukan, aku cuma memotong sayuran aja tadi sambil membantu Bik Sundari menyiapkan aneka bumbunya," jawab Renata ragu.
Mungkin Renata terlihat seperti perempuan penakut dan baru saja bertemu dengan bos mafia, akan tetapi, dia mencoba melakukan hal ini karena tidak ingin mengecewakan orang tua dan tentu saja sedang belajar untuk menjadi seorang istri yang baik agar tidak terlihat buruk di mata Rajendra.
Terlebih pria itu sudah mempunyai penilaian terhadapnya tentang perempuan anak orang kaya yang manja dan tidak bisa apa-apa.
Setidaknya masa lalunya yang menjadi momok bagi dirinya bisa dia tutup dengan segenap kemampuan dan usahanya untuk bangkit dan melupa.
"Oke, kita makan sekarang!"
Bibir Renata melebar, sigap dia mengambil piring mengambil semua yang dibutuhkan untuk menjadi hidangan gado-gado yang lengkap di atas piring sang suami.
"Selamat makan!" tuturnya seraya menyodorkan piring yang sudah berisi gado-gado.
"Kamu nggak makan?"
"Iya. Aku siapkan buat Mas dulu," jawabnya.
Rajendra terpaku mendengar panggilan Renata untuknya. Entah kenapa panggilan itu terdengar merdu di telinganya.
Matanya terus memindai Renata yang mengambil lontong dan perlengkapan lain untuk diisi ke piringnya. Bibirnya tertarik singkat menyadari jika sang istri memang terlihat mencoba menyesuaikan diri dengannya.
"Kamu nggak ngambil sayur?" tanyanya saat Renata hendak memulai makan.
Perempuan bermata bening itu menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disempurnakan Cinta (Sudah Terbit)
RomanceRencana pernikahan yang sudah di depan mata harus pupus karena 'kesalahan' yang sama sekali tidak dia sengaja. Diputuskan sepihak oleh Sena dengan hinaan cukup membuat mental Renata jatuh hingga menutup diri. Apakah mungkin Sena dan Renata bisa kemb...