Kecanggungan Sena

1.7K 245 18
                                    

Diah sibuk menyiapkan aneka buah Dan makanan kesukaan Renata. Kebahagiaannya terungkap dari wajah dan bibirnya. Sepanjang pagi dia bersenandung setelah mendengar penuturan puterinya yang dia hubungi lewat telepon.

"Sibuk banget, Ma?" tegur Romi. "Itu makanan sebanyak itu untuk siapa?"tanyanya seraya merapikan dasi.

Diah tersenyum lebar lalu memasukkan abon daging kesukaan Renata ke paper bag yang ada di depannya.

"Buat cucu!" sahutnya tanpa menoleh.

Romi menghentikan aktivitasnya kemudian mendekat.

"Mama mau menemui Renata?"

Diah mengangguk. "Renata pengin makan soto daging buatan Mama," sahutnya tak memedulikan paras sang suami yang berubah tegang.

"Mama nggak perlu ke sana! Kalau mau ngirim semua itu, kita bisa suruh sopir untuk ...."

"Nggak, Pa! Mama tetap mau ke sana, sekalian mau sharing apa saja yang seharusnya dia lakukan saat hamil! Apalagi ini kehamilan pertama dan masih di awal-awal kehamilan pula," sela Diah seraya meraih tas tangan miliknya yang berada tak jauh dari tempat dia berdiri.

"Papa nggak ngizinin, Ma!"

Diah membalikkan tubuhnya menatap tajam ke sang suami. Kemarahan Romi sekarang menurutnya tidak lagi beralasan. Keegoisan pria itu sudah tak lagi berbeda dengan menantunya.

"Maafkan Mama, Pa, tapi untuk kali ini Mama nggak bisa mengikuti apa yang ada di dalam pikiran Papa! Renata anak kita itu benar! Kita merasa diinjak-injak oleh Jendra dengan semua yang dia lakukan itu juga benar! Tapi anak yang ada di rahim Renata itu cucu kita! Ada darah Jendra juga mengalir di sana. Bisa jadi dia hadir akan memberi warna baru dalam hidup mereka berdua!" tutur Diah dengan penekanan yang sangat. "Jadi jangan halangi Mama kali ini!"

Diah lalu meraih beberapa paper bag yang sudah dia siapkan. Kemudian meminta bantuan Ratih asisten rumah tangganya untuk membawakan beberapa makanan yang tak bisa dia angkat untuk diletakkan di mobil.

"Oh iya, Pa! Satu lagi, jika Papa terus memelihara keegoisan seperti ini, lalu apa bedanya Papa dengan Jendra?" Perempuan paruh baya itu menggeleng samar. "Sama aja, kan, Pa? Nggak ada bedanya sama sekali! Bahkan Papa akan lebih membuat Renata tertekan!"

Perempuan itu kemudian melangkah cepat meninggalkan ruangan tersebut. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Romi.

"Kamu boleh pergi ke mana pun kamu suka, kecuali ke rumah menantu tak tahu diri itu! Aku sudah bicarakan ini ke sopir!"

Diah menarik napas dalam-dalam. Sejenak dia memejamkan mata mengubah menahan luap amarah yang meradang sejak tadi.

"Oke, kalau begitu Mama pakai taksi online! Nggak masalah!" Kembali mama Renata itu mengayun langkahnya tanpa menoleh.

Di luar, Ratih hanya meletakkan beberapa rantang juga paper bag di atas meja teras. Dia seperti yang dikatakan sopir, dilarang memasukkan semua barang bawaan Diah ke mobil sesuai dengan apa yang diperintahkan Romi.

Meski ada tiga mobil di rumah itu, sayangnya Diah tidak bisa mengendarainya.

"Pagi, Tante," sapa Sena seraya keluar dari mobil. Pria itu baru saja tiba.

Diah menoleh seraya mengerutkan kening melihat kedatangan pria masa lalu puterinya itu.

"Sena? Ada perlu apa kamu ke sini?" tanya Diah seolah curiga.

Tersenyum lebar, Sena menjabat tangan Diah.

"Mau ketemu Om Romi, Tante."

"Ketemu Om Romi?"

Disempurnakan Cinta (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang