Dugaan Ana

1.5K 183 4
                                    

Pagar tinggi itu terbuka saat Jendra menekan klakson. Seorang pria paruh baya mengangguk sopan ke Jendra ketika memasuki pelataran rumah.

Dia lalu menoleh ke samping. Renata masih bergeming menatap ke depan. Jendra menarik bibirnya kemudian membukakan sabuk pengaman isterinya.

Lagi-lagi Renata dibuat salah tingkah. Sebenarnya dia diam bukan menunggu sabuknya dibukakan, tetapi lebih ingin mengatur emosinya saat bertemu sang mertua. Belum sempat Renata protes atas apa yang dilakukan sang suami, Jendra telah keluar dan bergegas membuka pintu untuknya.

"Ayo!" Pria itu mengulurkan tangannya.

Sejenak Renata diam menatap tangan yang terulur di hadapannya.

"Sayang?"

Menarik napas Renata menyambut ajakan Jendra. Wajahnya dibuat seramah mungkin demi bertemu Ana.

Mereka bergandengan tangan memasuki rumah. Seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Jendra menggenggam erat tangan isterinya seolah berjaga jika Renata tiba-tiba kabur. Merasa sang suami mengeratkan genggaman, perempuan itu menarik bibirnya singkat.

Sungguh dia sebenarnya menikmati kondisi ini. Kondisi di mana Jendra harus jatuh bangun untuk meraih hatinya dan tentu saja mengubah memperbaiki citranya di depan sang papa.

Kedatangan keduanya disambut gembira oleh Pramudya. Tentu saja kehadiran Renata di rumah itu suatu kejutan, terlebih pria paruh baya itu tahu apa yang terjadi pada rumah tangga puteranya.

Pramudya sendiri menyembunyikan hal yang sesungguhnya itu dari Ana, karena kondisi sang isteri yang tentu akan shock jika mengetahui hal yang sesungguhnya.

"Syukurlah, kamu bersedia datang, Renata." Terdengar nada lega yang kuat biasa dari suara Pramudya. Pria itu menyambut uluran tangan menantunya.

Renata tersenyum tipis.

"Renata pasti datang untuk Mama Ana, Pa," tuturnya disambut anggukan oleh Pramudya.

"Terima kasih, Renata. Papa sangat berterima kasih."

Kembali perempuan yang memiliki senyum menawan itu mengangguk. Sementara Jendra ikut tersenyum saat sang papa menatapnya.

"Mama di kamarnya, Pa?" tanya Jendra.

"Iya, baru aja masuk kamar, tadi duduk di sini bareng Papa," jawabnya. "Kalian ke kamar aja. Mama nungguin kalian dari tadi!"

Mereka berdua lalu melangkah menuju kamar. Saat pintu dibuka Jendra, senyum Ana merekah menyambut kehadiran menantu kesayangannya. Tangannya memberi isyarat agar Renata memeluknya.

"Apa kabar, Cantik? Mama rindu banget! Kenapa lama nggak ke sini? Kamu baik-baik saja, kan? Jendra memperlakukan kamu dengan baik, kan? Dia nggak bikin kamu sedih, kan, Sayang?" cecarnya saat pelukan sudah terurai.

Pertanyaan beruntun yang keluar dari mulut mamanya membuat Jendra menarik napas dalam-dalam. Ana begitu menyayangi Renata, hingga perempuan itu lupa untuk bertanya kabar puteranya sendiri.

Namun, justru di titik itu yang membuatnya bahagia. Melihat interaksi keduanya, terjawab sudah pertanyaannya selama ini. Pertanyaan kenapa mamanya begitu bahagia memiliki menantu Renata. Dia baru memahami jika Renata memang dikirim Tuhan bukan hanya untuknya, tetapi juga untuk keluarganya, khususnya untuk Ana.

Renata duduk di bibir ranjang menatap hangat kepada mertuanya. Perempuan yang melahirkan Jendra itu mengusap bahu menantunya penuh kasih sayang.

"Kamu belum menjawab pertanyaan Mama. Apa kamu baik-baik saja?"

"Baik, Ma. Berkat doa Mama, Renata baik," sahutnya sopan.

"Syukurlah!" Ana menarik napas lega. "Lalu kenapa lama sekali kamu nggak ke sini? Mama rindu masak bareng kamu lagi!"

Disempurnakan Cinta (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang