Cemburu?

1.1K 106 1
                                    

"Selamat ya, Renata. Semoga kebahagiaan selalu membersamaimu dan keluarga," ucap Resti seraya mengulurkan tangannya saat Renata sendirian.

"Makasih, Resti. Semoga doa baikmu kembali padamu juga," ungkapnya menyambut uluran tangan perempuan berbaju merah di depannya.

"Ayo silakan duduk!" ajaknya ramah.

Resti tersenyum tipis kemudian mengangguk. Dia lalu duduk di samping Renata yang dipisahkan oleh beberapa kursi kosong. Sejenak mereka berdua saling diam. Resti lagi-lagi mengagumi cara Jendra mencintai perempuan di depannya itu, meski kembali suara Dea terngiang soal perjodohan di antara Renata dan proses yang diam-diam tidak dia sukai tersebut.

Tak lama muncul di tengah-tengah mereka Tuti dibantu dengan Ida. Mereka berdua menggunakan celemek berwarna kuning membawa makanan yang diperuntukkan bagi majikannya.

"Silakan dinikmati, Mbak Renata. Mas Jendra nanti ke sini, tadi masih ada urusan sama Mas Devan di ruang kerjanya," jelas Bik Tuti sopan.

"Iya, Mbak. Mas Jendra tadi berpesan supaya Mbak makan yang banyak," imbuh Ida.

Senyum manis tercetak di bibirnya mendengar penjelasan Tuti. Entah kenapa dia ingin sekali tahu bagaimana Jendra dulu saat masih kuliah. Renata ingin mengetahuinya dari Resti.

"Iya, Bik Tuti, Bu Ida. Terima kasih ya."

Keduanya mengangguk kemudian memohon diri untuk kembali ke tempat mereka.

Sepeninggal keduanya, Renata menarik napas dalam-dalam. Dia tersenyum lalu mengajak Resti menikmati hidangan bersamanya.

"Makasih, Ren. Ini, kan hidangan dari resto aku, lagipula aku sudah kenyang," tolaknya seraya tersenyum.

"Agak aneh memang, makan dini hari seperti ini, tapi nggak apa-apalah, ini hariku, begitu sih tadi kata Mas Jendra, dan ... aku suka menu di restoranmu, Resti," terang Renata.

Resti tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Sementara Renata mulai menikmati sajian di depannya. Semangkuk sup kacang merah terlihat sangat dinikmatinya.

"Jadi kalian dulu teman kuliah?" Renata mencoba membuka pembicaraan di sela-sela makanannya.

"Iya. Kami sekelas juga," jawabnya.

Renata mengangguk seraya mendorong mangkuk yang sudah tandas isinya.

"Mas Jendra cerita kalau kamu memang sudah pintar memasak sejak kuliah."

Resti mengulum senyum. Dia tak menyangka kika hal itu sampai juga pada akhirnya ke telinga Renata.

"Nggak pintar sih, tapi itu terjadi karena memang keadaan yang memaksa," jelas Resti.

Renata menoleh ke arah Resti seraya menyelipkan rambut ke belakang telinganya dia berkata, "Kamu hebat! Eum ... pasti Mas Jendra salah satu yang paling sering membeli daganganmu. Kalau aku juga satu kampus bisa jadi aku juga begitu."

Resti tertawa kecil. Andai Renata tahu jika setiap hari selalu ada makan siang untuk Jendra darinya. Andai Renata tahu jika Jendra-lah yang sering membantu dia menghabiskan dagangannya, dan andai Renata tahu jika suaminya dulu adalah pria yang paling perhatian dan peduli padanya dan andai dia tahu ada ruang yang tersimpan rapi hanya untuk Jendra hingga saat ini.

"Iya ... Jendra memang menyukainya, dulu. Kalau sekarang pasti dia lebih suka masakanmu," ujarnya dengan bibir tertarik singkat.

Menggeleng, Renata tertawa kecil.

"Aku nggak bisa masak, Resti. Bisa masak juga belajar baru-baru aja."

"Karena Mas Jendra nggak suka makan di luar," imbuhnya meletakkan segelas jus semangka yang baru saja diteguknya.

Disempurnakan Cinta (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang