Pramudya menyipitkan matanya membalas tatapan tajam Rajendra.
"Soal apa? Apa yang kamu katakan, Jendra?"
"Jawab saja, Pa. Papa sudah tahu atau belum soal dia? Soal Renata?"
Perlahan Pramudya mulai paham arah pembicaraan sang putra. Sedikit kaget karena tak menyangka jika akhirnya Jendra bertanya tentang itu.
"Pa. Kenapa diam? Apa itu artinya Papa tahu kalau perempuan yang Papa nikahkan dengan anak Papa adalah seorang perempuan yang bisa dibayar? Perempuan murahan yang menjual kehormatannya hanya untuk bersenang-senang?"
"Jendra! Tutup mulutmu!" sentak Pramudya.
Dia menyeringai lalu menggeleng cepat.
"Serendah itu Papa menjual anaknya di saat ingin memberikan yang terbaik untuk kebahagiaan keluarga kita, Pa? Papa lupa dengan syarat yang Jendra ajukan waktu itu? Papa lupa?"
"Jendra! Jangan asal bicara kamu!" Suara Pramudya meninggi.
"Jendra nggak salah bicara, Pa! Semua yang Jendra ucapkan benar, kan? Jendra dijadikan tumbal untuk perusahaan ini, kan, Pa? Bahkan karena ambisi Papa hingga Papa tidak berpikir perempuan mana yang bisa diharapkan menjadi ibu dari penerus keturunan keluarga kita? Apa Papa rela jika benih yang Jendra tanam lahir dari ladang perempuan bekas?" cecar Jendra dengan suara tak kalah tinggi.
Pramudya bergeming. Rajendra memang berhak marah karena dia tidak memberikan keterangan tentang seperti apa Renata, tetapi dia yakin Renata perempuan baik yang kala itu terjebak pada satu keadaan yang menyeret dirinya hingga sampai pada satu keadaan yang sama sekali tak dia inginkan.
"Jendra! Dengar, Papa!" Pramudya melepas kacamata lalu meneguk air putih di sebelahnya.
"Kenapa kamu berpikir serendah itu kepada kami orang tuamu? Kenapa kamu berpikir jika istrimu adalah perempuan yang bisa dibeli seperti yang kamu katakan tadi? Kenapa muncul pikiran seperti itu?"
Kembali putranya menyeringai.
"Jendra sudah tahu semuanya, Pa. Nggak perlu Jendra jelaskan bagaimana sampai muncul pikiran seperti itu. Papa sudah tertutup oleh ego sehingga tidak lagi bisa memilah dan memilih mana perempuan yang baik untuk dijadikan menantu. Untuk dijadikan seorang ibu yang kelak akan mewarisi nama belakang Jendra. Keturunan Papa!" Terlihat rahang putranya menegang pun demikian dengan kedua tangan Rajendra.
Pramudya memijit alisnya.
"Maafkan Papa untuk itu, tapi Papa tahu siapa Renata. Dia perempuan baik hanya waktu itu terjebak berada di situasi yang salah."
Tertawa kecil, Jendra menggeleng.
"Nggak ada pengecualian soal itu, Pa. Kalau pun ada ...." Sejenak dia memutus kalimatnya lalu menggeleng. "Kalau pun ada, Jendra nggak percaya!"
Ruang kantor Pramudya hening sejenak.
"Lalu apa mau kamu sekarang? Papa hanya ingin kamu bisa menerima Renata karena ...."
"Karena perusahaan ini tidak jadi diambil alih oleh perusahaan mertua Jendra, kan, Pa? Karena perusahaan ini sudah diberi suntikan dana besar agar tidak bangkrut, kan, Pa?" Seringai Jendra kembali tercetak. Dia kemudian bersandar dengan kaki kanan bertumpu ke kaki kirinya.
"Jendra sudah berubah, Pa. Jangan sampai Jendra kembali lagi seperti dulu gara-gara rasa kecewa ini!" imbuhnya.
"Lalu ... apa yang akan kamu lakukan dengan pernikahanmu? Dengan kebahagiaan mamamu dengan semua yang sudah terjadi termasuk perusahaan ini?"
Pramudya menarik napas dalam-dalam.
"Oke, mungkin memang benar kamu bahwa Papa salah karena tidak mengatakan seperti bapa Renata, tapi Papa tahu seperti apa putri dari Romi itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Disempurnakan Cinta (Sudah Terbit)
RomanceRencana pernikahan yang sudah di depan mata harus pupus karena 'kesalahan' yang sama sekali tidak dia sengaja. Diputuskan sepihak oleh Sena dengan hinaan cukup membuat mental Renata jatuh hingga menutup diri. Apakah mungkin Sena dan Renata bisa kemb...