Jendra tertegun sejenak mendengar penjelasan Pramudya. Tak lama kemudian dia mengedikkan bahu."Itu urusan dia, Pa. Apa hubungannya sama Jendra?" sahutnya santai.
"Kamu keras kepala, Jendra! Cobalah sedikit berempati pada istrimu! Cobalah kamu menoleh sejenak ke belakang menyadari apa kamu tak punya cela? Papa tahu sejarahmu seperti apa. Papa bukan membela Renata, tapi Papa tidak suka kamu terlalu memandang rendah istrimu seolah kamu tidak punya noda!" Pramudya terlihat geram.
Pria beralis tebal itu bergeming. Dia kembali mencoba mengulang penjelasan dari Pramudya. Renata, istrinya itu ternyata dilecehkan dan dia bukan perempuan yang seperti dia kira sebelumnya.
Namun, apa benar demikian yang terjadi sebelumnya? Bukankah bisa saja hal itu menjadi semacam pembelaan dari Renata dan kedua orang tuanya supaya nama keluarga mereka bersih?
"Dari mana Papa tahu kalau dia diperlakukan seperti itu, Pa? Dari mana Papa tahu kalau dia diperkosa? Apa Papa yakin dia sebersih itu?" selidiknya dengan mata menatap tajam sang papa.
"Jendra! Kamu sadar siapa yang sedang kamu bicarakan? Dia Renata! Istrimu!"
Jendra menaikkan alisnya kemudian tersenyum tipis, dia kembali bersandar di punggung kursi seraya menggoyang kursi beroda itu ke kiri dan ke kanan.
"Oke! Kamu bisa selidiki kebenarannya! Tapi jangan kecewa jika keraguan itu akan membuatmu menyesal!" ujar Pramudya tegas.
Masih dengan wajah santai, Jendra bangkit dari duduk. Tangan kanannya dimasukkan ke kantong celana lalu menarik napas dalam-dalam.
"Oke, Pa. Jendra akan cari tahu sendiri soal itu. Jendra juga tahu Papa orang yang paling paham bagaimana masa lalu Jendra, tapi itu bukan alasan untuk menerima begitu saja apa yang papa ceritakan."
Pria itu lalu membalikkan badan hendak meninggalkan ruangan kantor Pramudya.
"Mau ke mana kamu?"
Tanpa menoleh, dia mengurungkan niatnya untuk melangkah.
"Papa mau Jendra mencari Renata, kan?"
"Iya. Cari istrimu! Sebelum kamu kehilangannya!" imbuh pria paruh baya itu.
**
Siang itu Renata berada di halaman belakang, menatap beberapa koleksi bunga milik almarhum neneknya dan beberapa pohon yang berbuah membuat Renata menarik bibirnya lebar. Tiga hari berada di rumah ini sedikit membuat moodnya membaik.
Belum lagi beberapa tulisannya cukup mendapat respon positif dari pembacanya. Tentu saja kisah tentang panti asuhan yang sedang jadi proyek dia dan Karina juga mendapat sambutan yang baik. Beberapa ada yang bersedia memberikan bantuannya.
Bersama Bu Ida, dia banyak mendapat masukan yang baik. Perempuan itu mengajarkan bagaimana bisa bersabar dan bisa menerima setiap aral yang menghalangi. Bagaimana bisa memahami dan mengerti juga menerima pendapat orang lain yang berseberangan tanpa memaksa mereka untuk mengerti diri kita.
"Mbak Renata, ada Mbak Karina di luar." Bu Ida muncul dari belakangnya.
"Suruh dia masuk, Bu."
Tak lama Karina muncul dengan senyum manisnya. Dia membawa burger dan kentang goreng.
"Aku yakin kamu belum menelan apa pun sejak pagi. Iya, kan?" ucapnya sembari mengeluarkan makanan cepat saji itu dari paper bag.
Renata tersenyum lebar, wajahnya tampak berseri-seri melihat makanan yang dibawa Karina. Sudah lama sekali dia tidak menikmati makanan kesukaannya itu semenjak menikah dengan Jendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disempurnakan Cinta (Sudah Terbit)
RomanceRencana pernikahan yang sudah di depan mata harus pupus karena 'kesalahan' yang sama sekali tidak dia sengaja. Diputuskan sepihak oleh Sena dengan hinaan cukup membuat mental Renata jatuh hingga menutup diri. Apakah mungkin Sena dan Renata bisa kemb...