Galau

2.1K 306 12
                                    


Jendra mengedikkan bahu. Siapa yang tahu soal itu. Siapa yang tahu jika mereka berdua tidak janjian untuk bertemu. Mengingat itu, rahang Jendra mengeras. Seharian tidak fokus ditambah masalah kerjaan membuat dia sama sekali tidak membuka ponsel.

Senja menjelang, hari itu Jendra memang sengaja terlambat pulang karena ada beragam kekesalan menumpuk. Dia mengabaikan pertanyaan Devan. Untuk sementara dia tak ingin membaginya dengan siapa pun.

Azan Maghrib berkumandang di segala penjuru kota. Jendra masih terjebak kemacetan yang sudah jamak terjadi. Meski macet adalah peristiwa yang menjengkelkan, tetapi tidak dengan senja itu. Dia justru menikmati saat mobil harus berhenti lama.

Menikmati musik dari tape mobil, dia meraih ponsel yang hampir seharian tak dia sentuh. Matanya menyipit ketika membaca pesan masih dari Renata. Singkat jelas dan padat. Renata pergi!

Seketika raut wajahnya berubah tegang. Ada biasa amarah meradang tampak di kilat matanya. Tangannya mengepal mengarahkan ke kemudi. Jendra kehilangan kendali. Berkali-kali dia menekan klakson agar mobil di depan cepat berjalan. Hal itu menyebabkan dia mendapat banyak umpatan dari sebelah kanan dan kirinya karena merasa terganggu dengan suara tiba-tiba dan tanpa jeda dari mobil Jendra.

"Sial! Pergi ke mana dia?" gumamnya masih dengan rahan mengetat.

Kemacetan perlahan terurai. Mobil kembali bisa meluncur nyaman hingga sampai di kediamannya. Gelap dan sepi, itu kesan pertama saat tiba di depan rumah. Setelah membuka pagar, Jendra membuka pintu.

Dia memang selalu membawa kunci cadangan sehingga tidak sulit baginya untuk membuka. Setelah menyalakan lampu, matanya menata meja teras. Ada kunci rumah di meja itu. Dia bisa simpulkan jika Renata tidak akan kembali. Setidaknya dalam tempo yang dia tidak tahu kapan.

Jendra menarik napas dalam-dalam, dia kembali ke luar pagar untuk memasukkan mobil ke garasi dan kembali mengunci gerbangnya.

Memasuki rumah yang terbiasa ada Renata menyambut sedikit membuat dia merasa kosong. Tak ada senyum manis dan sapa ramah sang istri yang biasa menyambut. Tak ada aroma masakan yang menguar, tak ada pula ucapan minta maaf karena masakannya mungkin keasinan atau hambar.

Pria itu menghenyakkan tubuh di sofa. Melepas dasi lalu merebahkan diri di sana. Menatap langit-langit seolah mencoba menelisik satu per satu kejadian penuh kejutan yang belakangan ini seperti bertubi-tubi menimpanya.

Kembali melintas foto-foto Renata dan Sena di memorinya.

"Seperti itu kelakuan istrimu. Kenapa kamu masih bertahan? Apa hanya karena takut kehilangan istri cantik? Hei! Kamu bahkan bisa memilih banyak perempuan cantik tanpa melihat!"

Suara Ranu terngiang. Pria itu seperti sangat mengulik masa lalu Renata.

"Kenapa Ranu sering menemuimu?" Pertanyaan Devan kali ini mampir di kepalanya.

Jendra beringsut dari rebah, dia lalu bangkit menuju dapur membuka lemari es. Matanya berhenti saat melihat salad buah banyak sudah tersedia di sana. Bisa ditebak! Tentu saja itu buatan Renata untuknya. Menghela napas, dia mengambil mangkuk besar itu kemudian membawanya ke meja pantry. Perlahan dia mulai menikmati aneka buah potong yang bercampur yogurt, susu, mayonaise, juga keju itu.

"Mas Jendra jangan jorok! Kalau makan jangan seperti itu!" Renata mengambil mangkuk kecil lalu mengambil beberapa sendok salad dari tempat besar kemudian setelah dirasa cukup dia menyorongkan ke Jendra. "Seperti ini yang benar. Jadi salad yang di tempat besar kalau nggak habis bisa dimasukkan lagi ke kulkas. Bukan sisa dari mulut Mas Jendra."

"Tapi kan di rumah ini cuma ada aku dan kamu. Kenapa? Kamu jijik makan bekas aku?"

"Bukan begitu, Mas. Tapi akan lebih baik jika apa yang masuk lemari es bukan yang sudah masuk mulut. Ah! Aku rasa Mas paham maksudku!"

Ucapan Renata beberapa waktu lalu melintas kembali membuat bibirnya sedikit terangkat ke samping. Istrinya itu memang belum mahir memasak atau mengolah makanan, tetapi untuk masalah kebersihan Jendra mengacungkan jempol untuknya.

Garis senyumnya memudar saat tersadar jika dia sejenak terjebak dalam ruang kenang saat bersama Renata.

**

Menatap pantulan cermin dengan mata sembab membuat Karina yang sejak tadi menemaninya harus menarik napas dalam-dalam.

"Renata, kamu nggak bisa seperti ini. Kita cari jalan keluar sama-sama. Aku mau kamu bahagia, aku nggak tega lihat kamu seperti ini!"

Siang tadi, Renata memilih tinggal di rumah peninggalan neneknya yang terletak di pinggir kota. Rumah itu sudah lama tidak dihuni, tetapi ada sepasang suami istri yang diminta untuk merawat sehingga selalu bersih dan layak untuk ditinggali.

Rumah berarsitektur joglo dengan halaman luas dan berbagai macam tanaman di depannya membuat kesan sejuk dan nyaman. Sementara Renata memutuskan tinggal di sana sampai dia siap untuk kembali dan meminta Jendra untuk mengakhiri pernikahan mereka.

Akan tetapi, Renata masih ingin menenangkan diri terlebih dahulu. Karena Renata paham, dengan dia memutuskan pergi dari rumah, sebenarnya bukan solusi, tetapi paling tidak dia bisa menelaah apa yang harus dilakukan dan dia juga berharap Jendra melakukan hal yang sama.

"Aku tahu, Karina. Ini semua harus selesai, aku lelah."

Karina mendekat, dia lalu mengusap bahu Renata. Perempuan berambut sebahu itu menatap Renata dari pantulan cermin.

"Ingat apa yang pernah aku katakan! Kamu itu cantik dan kamu punya talenta yang orang lain tidak miliki. Pertahankan itu, jadikan dia perisai untuk bisa melawan semua masalah yang kamu hadapi!"

"Sebaiknya kamu segera bertindak karena cepat atau lambat keluargamu dan keluarga Jendra akan tahu soal ini, dan kamu pasti tahu apa yang akan dilakukan papamu jika tahu Jendra menyakitimu," ujar Karina.

Renata mengangguk. Papanya pasti akan marah dan mengambil alih perusahaan sang mertua, yang tentu saja akan berimbas pada kesehatan mama mertua yang begitu sayang padanya.

"Apa yang harus aku lakukan, Karina? Aku nggak mau Mama Ana sakit dan kecewa," tanyanya dengan wajah nestapa.

"Kamu nggak perlu melakukan apa pun untuk saat ini. Kamu tenangkan diri dulu, biarkan aku yang mencari tahu soal Dea."

"Dea? Kenapa Dea?"

Karina menarik napas dalam-dalam.

"Aku rasa semua yang menimpamu ini benang merahnya ada di Dea!"

Renata menoleh ke sahabatnya.

"Kamu terlalu baik Renata. Kamu bahkan tidak peduli meski Dea sudah mengibarkan bendera perang saat kalian bertemu di butik waktu itu. Iya, kan?"

"Entah kenapa feellingku, ini semua adalah rencananya. Jika ditanya untuk apa ...." Karina menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng. "Aku juga nggak tahu, tapi aku yakin akan tahu soal itu."

"Lalu Sena! Aku rasa dia nggak bohong soal ingin  tahu apa yang menimpamu waktu itu, Ren!"

"Tapi aku nggak mau ketemu dia lagi, Karina!"

"Aku tahu, untuk Sena biarkan aku yang menemuinya!"

**

Jendra meletakkan ponselnya ke meja dengan kasar. Ini hari ke dua dia tak bisa menghubungi Renata. Tentu saja hal itu menambah masalah hingga Devan juga Ardi tak luput dari kemarahannya.

"Sekarang kita keluar kantor dulu deh! Kamu jelaskan apa yang terjadi sebenarnya! Jangan asal gubrak sama gubrak sini," saran Ardi.

"Oke, kita tahu kamu kehilangan tender dan nggak cuma satu, tapi nggak biasanya kamu semarah ini, Bro!" lanjutnya.

"Nah betul! Ini kamu udah seperti pria kehilangan istri aja!" ledek Devan.

"Jaga mulutmu, Dev!" sentak Jendra.

Devan yang masih belum tahu duduk permasalahannya, mengernyit heran.

"Jendra! Kamu kenapa sih?" selidiknya.

"Renata pergi dari rumah!" jawabnya seraya bangkit dari duduk. "Kita bicarakan soal ini di kafe biasa!"

Kedua rekannya saling tatap kemudian ikut bangkit dan melangkah meninggalkan ruangan itu.

**

Disempurnakan Cinta (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang