Pengakuan

1.4K 145 3
                                    

Romi menyeringai kemudian menggeleng cepat.

"Luar biasa! Selain pengecut, kamu juga pintar main drama, Jendra!" Romi menarik napas dalam-dalam. "Cinta kamu bilang? Sekarang kamu bilang kamu mencintai puteriku?" tanyanya sinis, "sayangnya kamu harus menarik kembali ucapan itu, karena ini bukan lagi masalah cinta-cintaan! Sekarang, pergilah!"

"Om." Jendra bangkit mendekati mertuanya, wajahnya terlihat penuh penyesalan dan sangat kacau. "Saya tahu saya salah, tapi saya ingin memperbarui semuanya. Saya menyesal, Om."

Romi tampak tak peduli, dia hanya menggeleng lalu meninggalkan Jendra setelah sekali lagi mengusirnya. Pria paruh baya itu melangkah cepat masuk mobil, tak lama kemudian meluncur meninggalkan pelataran rumah joglo itu.

Sementara Jendra masih berdiri mematung seraya memijit pelipisnya. Kepalanya terasah berat, tubuhnya butuh tempat istirahat yang nyaman, tetapi Jendra seolah tidak peduli dengan kondisinya.

Renata yang sejak tadi mendengarkan dan mengintip dari kamar perdebatan papanya dan sang suami ikut menarik napas dalam-dalam. Semua ucapan Jendra dia dengar dengan jelas, termasuk saat pria itu mengatakan perasaannya.

Ada perasaan hangat di hatinya ketika mendengar ucapan itu dari mulut Jendra, tetapi terasa sia-sia. Andai kata-kata itu diucapkan sebelum semua ini terjadi, mungkin kisahnya akan berbeda. Karena sesungguhnya ada perasaan indah yang diam-diam menyapa kala dekat dengan sang suami.

Renata masih berdiri menatap Jendra yang kembali duduk di sofa. Pria itu dipaksa Ida untuk kembali duduk agar bibirnya yang berdarah dikompres.

"Mas Jendra sebaiknya pulang dulu, Mas. Mas harus kerja, kan? Mas juga sepertinya butuh istirahat ...." Bu Ida menyerahkan waslap hangat ke pria itu.

Jendra mengucapkan terima kasih kemudian menempelkan waslap basah itu ke sudut bibirnya yang pecah.

"Apa Bu Ida bisa bantu saya, Bu?"

"Bantu apa, Mas?"

"Tolong sampaikan pada Renata, saya ingin bicara," pintanya.

Perempuan paruh baya itu bergeming sejenak. Jujur sebenarnya dia khawatir jika membantu pria itu, karena jelas bos besarnya melarang Renata menemui Jendra.

Akan tetapi, bukankah Jendra saat ini masih suami Renata? Lagipula bukankah puteri bos besarnya itu tengah mengandung anak dari pria yang tengah kesakitan di depannya itu? Bukannya akan menjadi lebih salah jika dirinya memisahkan pasangan itu dalam kondisi seperti ini? Selain itu sebagai seorang ibu dirinya juga tidak tega melihat Jendra.

"Bu, tolong saya. Ibu bisa, kan?" Kembali pria itu memohon.

Ida mengangguk seraya menarik napas dalam-dalam, berharap perbuatannya tidak diketahui oleh Romi, sebab bisa-bisa dia kehilangan pekerjaan dan mungkin juga suaminya akan terkena imbas dari perbuatannya.

"Sekali ini saja ya, Mas. Saya khawatir papanya Mbak Renata tahu," pintanya.

"Iya, Bu. Sekali ini saja." Jendra mengangguk dan tersenyum lega.

"Saya akan sampaikan, tapi saya nggak bisa janji kalau Mbak Renata mau menemui Mas Jendra," ucapnya seraya bangkit dari duduk.

Kembali pria itu mengangguk dengan wajah sangat berharap.

**

Ida membuka pintu kamar Renata setelah mengetuk tiga kali. Kamar itu tidak dikunci.

"Mbak Re ...."

"Dia meminta bertemu saya, Bu?" tanyanya sebelum Ida menyampaikan pesan dari Jendra.

"Iya, Mbak."

Perempuan yang mengenakan baju terusan berwarna pink dengan corak bunga kecil itu menarik napas dalam-dalam.

Disempurnakan Cinta (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang