Dengan perasaan berdebar, Dita melangkah memasuki gedung perkantoran GWO. Dalam hati, Dita terus berdoa agar ia tidak membuat kesalahan di depan Arkha nanti. Dita bertekad akan menunjukkan kinerja terbaiknya demi karir gemilang yang akan ia persembahkan untuk sang ibu.
Namun, begitu Dita menginjakkan kaki di lantai lima, Pak Rafi malah memintanya untuk menemui HRD. Dita pun kembali turun ke lantai tiga. Di salah satu ruang pertemuan yang kosong, Dita diminta menunggu oleh staf HRD yang akan memberinya kontrak kerja yang baru. Sekitar sepuluh menit lamanya menunggu, seorang staf HRD datang dan menyapanya.
"Silakan pelajari dulu kontrak kerja ini, jika ada yang tidak dapat dipahami bisa tanyakan ke saya. Jika sudah jelas, bisa langsung ditandatangani," ucap wanita berhijab warna denim itu seraya duduk di hadapan Dita.
Mengambil pulpen dari tas, dan mengambil berkas kontrak miliknya di atas meja, Dita mulai membaca pasal demi pasal yang tertera di perjanjian kerja itu. Tidak jauh berbeda dari perjanjian kerja yang biasa Dita tandatangani setiap kali ia melakukan perpanjangan kontrak kerja. Namun, saat ia kembali membalik kertas itu ke halaman awal, ia menyadari sesuatu.
"Kenapa, NIK saya berubah, ya, Bu?" tanya Dita menunjuk barisan angka yang merupakan nomor induk karyawan miliknya.
"Oh, itu karena jabatan kamu juga berubah," jawab si staf HRD.
"Tapi, tahun bekerja saya juga berubah, Bu?" Dita kini menunjuk angka 22 di awal NIK.
"Iya, betul. Status kamu juga berubah menjadi seperti pegawai baru, makanya tahun bekerja kamu juga tahun 2022." Jawaban staf HRD itu benar-benar membuat Dita lemas seketika.
"Maksudnya bagaimana, Bu?" Dita meminta penjelasan. "Semua tunjangan, serta hak cuti juga mengikuti ketentuan untuk pegawai baru, begitu?"
"Ya, tiga bulan pertama kamu akan melalui masa percobaan. Jika penilaian kamu baik, maka kontrak akan ditambah enam bulan, dan seterusnya. Kamu pasti sudah mengerti tanpa saya harus menjelaskan."
"Saya tidak tahu kalau dengan menjadi sekretaris, saya akan kembali dianggap sebagai pegawai baru. Saya kira saya hanya pindah bagian saja. Bukannya malah ikut kehilangan tunjangan dan hak cuti saya, Bu," jawab Dita jujur.
"Tentu saja berubah, Dita. Sudah jelas kamu pindah dari Mal ke kantor pusat. Kamu dianggap mengundurkan diri dari Mal dan bekerja sebagai pegawai baru di kantor pusat ini," jelas staf HRD itu.
Dita mencoba tenang, meski perutnya bergejolak tak menentu. Rasa mual dan sesak di dada ia rasakan kini. Setelah mengetahui apa yang ia tempuh selama tujuh tahun belakangan tidak ada artinya.
"Lalu, jika saya gagal melewati masa percobaan di tiga bulan pertama? Apakah itu berarti saya gugur dari GWM?"
Dan, jawaban dari staf HRD itu, tak lebih dari sebuah dengungan yang menyakitkan telinga Dita.
***
Kenyataan baru yang ia terima pagi ini benar-benar membuat tubuhnya limbung. Kaki panjangnya terasa seperti tak menapak di lantai marmer gedung kantor pusat GWM itu. Bahkan saat menekan tombol angka di lift yang akan membawanya naik, Dita merasakan pandangannya mengabur.
Lantunan kalimat Miranti yang menyalahkan pilihannya menjadi sekretaris, serta sebuah fakta pahit yang disampaikan staf HRD tadi terus memenuhi pikirannya. Membuat kepalanya terasa sakit, dengan perut yang bergejolak mual. Dita tidak tahu semuanya akan menjadi kacau seperti ini.
Dita keluar dari lift dengan langkah tertatih. Heels baru pemberian Rany hanya membuatnya kesulitan menahan keseimbangan tubuh.
"Bu Dita, sudah kembali rupanya!" seru Pak Rafi yang baru saja keluar dari ruangan Pak Wisesa.
Dita mengulas senyum sempurna. Mati-matian mengendalikan tubuhnya agar segar kembali seperti tidak ada hal buruk terjadi sebelumnya. Bunyi ketukan yang berasal dari ujung kaki heels yang beradu dengan lantai, memenuhi lantai yang hening itu. Dita menyimpan kesedihannya tadi dengan rapi. Tidak akan Dita tunjukkan sisi lemahnya di hari pertamanya bekerja.
"Selamat pagi, Pak Rafi," sapa Dita ramah. Tadi pagi memang ia tak sempat mengucap apapun, karena Pak Rafi memintanya menemui HRD dulu.
Pak Rafi mengulurkan tangannya, dan Dita tanpa ragu membalas jabatan tangan yang agak keriput itu. "Selamat bergabung, selamat bekerja sebagai Sekretaris Arkharega Wisesa!"
Senyum jenaka yang menghiasi wajah Pak Rafi, memaksa Dita untuk terkekeh. Menunjukkan respon sangat bahagia atas hari pertamanya bekerja sebagai Sekretaris.
"Di sana meja kerja Bu Dita," ucap Pak Rafi menunjuk kubikel yang berada di antara ruangan Pak Wisesa dan Arkha. "Kalau yang itu, meja kerja saya," tunjuk Pak Rafi pada kubikel yang berada di seberangnya.
Dita menghampiri kubikel miliknya yang bersisian langsung dengan dinding ruang kerja Arkha. Ia meletakkan tasnya di salah satu ujung meja berbentuk huruf L itu. Meja itu tampak luas. Satu-satunya benda yang ada di sana hanyalah satu unit laptop yang masih tertutup.
Masih menyisir tiap sudut kubikel yang ia nilai cukup luas itu, Pak Rafi datang dengan setumpuk berkas di tangannya. Pak Rafi lalu memberikan satu odner besar berwarna biru ke depan Dita, sisanya ia letakkan juga tidak jauh dari Dita.
"Berkas ini berisi seluruh Instruksi Kerja setiap departemen di kantor pusat ini. Untuk 'Intruksi Kerja' di departemen operasional atau Mal, saya yakin kamu sudah menguasainya. Jadi kamu hanya perlu mempelajari ini saja. Saran saya kamu lebih dulu hafalkan seluruh tugas sekretaris. Mungkin saja nanti Pak Arkha akan bertanya tentang tugas utama sekretaris pada Bu Dita."
Dita mengangguk mengerti akan ucapan Pak Rafi. Ia mengambil buku catatan miliknya serta pulpen dari dalam tas. Mulai membuka odner besar itu, menyisir daftar isi, mencari halaman yang berisikan tentang tata cara kerja seorang sekretaris.
Sekuat apapun Dita menyembunyikan rasa sedihnya dan menyimpan rasa kecewanya atas apa yang terjadi. Ia tetap tidak bisa memaksa otaknya bekerja seperti biasa. Tidak ada yang bisa Dita lakukan saat membaca tugas demi tugas yang harus dikerjakan seorang sekretaris selain mencatatnya ulang ke buku catatan. Pak Rafi sudah tidak ada di dekatnya, kepalanya kembali terasa sakit. Tangannya bergerak meremas blus berwarna putih yang ia gunakan sebagai dalaman dari blazer moka yang kini ia kenakan.
Ruangan itu kian terasa panas bagi Dita. Peluh kian memenuhi pelipisnya. Dita mengangkat wajah, merasa tak sanggup lagi memikul bebannya saat ini. Ini benar-benar di luar dugaan Dita. Ia merasa tak akan mampu bekerja di tengah perasaannya yang tidak karuan.
Dita beranjak keluar dari kubikelnya, memutuskan menuju toilet yang berada di arah kanan dari ruangan Arkha. Di bilik toilet yang tengah, Dita menyembunyikan diri. Ia duduk di atas kloset, sambil menutup kedua wajahnya. Ia mulai menangis tanpa suara.
Kesian Dita 😭
Terima kasih buat vote dan komennya temen-temen 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Dita and The Boss✅| Lengkap Di Karyakarsa
Literatura FemininaCinta berada di urutan kesekian dalam daftar tujuan hidup yang ingin dicapai Dita. Bahkan saat sang adik naik ke pelaminan lebih dulu, Dita tidak masalah. Ia sibuk bekerja dan mengumpulkan uang, demi memenuhi standar sang ibu yang menilai kesuksesan...