Bab. 19

1.6K 182 30
                                    

"Pak Arkha, saya mau minta maaf ...."

"Saya meminta kamu menemani saya makan malam. Bukannya menjejali pikiran saya dengan pekerjaan."

Mungkin kalimat Arkha itu terdengar kasar, tapi ia hanya tidak ingin membiarkan Dita meminta maaf atas sesuatu yang bukan sepenuhnya kesalahannya. Waktu itu ia sedang merasa stres karena memikirkan jumlah pengunjung GWM yang menurun pada semester terakhir. Banyak Mal baru yang bermunculan menjadi penyebabnya. Untuk itu diperlukannya inovasi berlanjut dari GWM untuk terus bertahan di tengah gempuran persaingan bisnis Mal.

Selain itu gagasannya untuk membangun GWM 2 guna menarik pengunjung baru untuk datang, ditentang keras oleh pihak GWA.
Katanya, dibandingkan membangun GWM 2 sebaiknya dipotimalkan dalam pemasaran saja. Pembangunan GWM2 diperkirakan tidak akan memberi dampak berarti untuk kemajuan GWM.

Pada dasarnya GWM memang dibangun untuk menopang fasilitas bagi apartemen dan perkantoran di kedua sisinya. Bisnis Apartment dan Perkantoran disinyalir jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan bisnis Mal. Jadi, dalam waktu dekat Arkha akan memaksimalkan operasional GWM dengan mendukung rencana event yang sudah direncanakan.

Dita sendiri dengan sigap memberi instruksi pada departemen terkait untuk mencari pengganti sponsor selain sebuah perusahaan rokok. Mengingat hal itu Arkha kembali dilanda rasa bersalah. Ia seharusnya tidak bersikap buruk pada Dita hanya karena teringat memori penyebab kematian orang tuanya. Tapi, ia memang membenci segala hal yang berhubungan dengan rokok.

Sudah dua minggu berlalu sejak malam itu. Malam dimana ia tidak sengaja mendatangi Dita dan dengan nekat mengajaknya makan malam. Saat itu Arkha yang menyesali sikap buruknya pada Dita sejak siang, berdiri melamun menghadap kaca besar di ruangannya yang terarah langsung ke JPO. Ia kembali melihat seseorang berdiri cukup lama di atas jembatan itu. Pemandangan yang sama seperti saat hari pertama ia bekerja dan tidak sengaja bertemu Dita yang kelaparan di kedai kopi.

Arkha tiba-tiba saja tertarik untuk ikut berdiri melamun di atas jembatan itu. Tanpa pikir panjang, Arkha meninggalkan ruangan dan keluar dari kantornya, berjalan menaiki JPO yang tidak terlalu ramai. Dan, tanpa ia duga orang yang ia lihat dari ruang kerjanya tadi rupanya masih ada. Dia seorang wanita, raut wajah resahnya begitu kentara meski pencahayaan di sana tidak begitu baik. Wanita itu tampak baru saja menelpon seseorang. Tangan kurus yang memakai gelang rantai itu terlihat menggenggam ponselnya dengan sangat kuat.

Ah, Arkha mengenali gelang itu. Bukan hanya gelangnya, tapi juga pemilik gelangnya yang melihat Arkha seperti melihat setan.

Suara bel pintu apartemennya yang terdengar, menarik Arkha keluar dari lamunannya tentang Dita. Arkha yang tengah duduk di sofa ruang tengah itu menyimpan bukunya ke atas nakas lalu berjalan menuju pintu. Dibukanya pintu itu dan muncul sosok Dita di sana. Arkha jelas terkejut, karena yang ia tahu Pak Rafi yang akan datang untuk mengantarkan berkas penting yang harus ia tanda tangani.

***

"Siang, Pak Arkha," sapa Dita ramah.

"Kenapa kamu yang datang?" tanya Arkha to the point.

"Pak Rafi tiba-tiba dipanggil Pak Wisesa." Dita yang datang membawa setumpuk berkas itu menatap penuh minat pada bosnya yang sudah dua hari tidak masuk kantor itu. "Pak Arkha sudah sehat?" tanyanya.

Arkha mengangguk saja, lalu mengambil alih dokumen di tangan Dita. "Masuk," perintahnya lalu berjalan lebih dulu. "Duduk," imbuhnya lagi begitu melewati sofa.

Dita and The Boss✅| Lengkap Di KaryakarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang