Bab. 18

1.6K 188 45
                                    

Dita meletakkan kedua proposal itu di atas meja kerjanya. Seraya menghela napas berat, kedua tangannya berpegangan pada meja. Belum habis rasa terkejutnya karena sikap bosnya barusan. Sejauh pengalamannya bekerja, ia banyak melewati hal-hal seperti tadi. Namun, baru kali ini ia merasa sedih saat bosnya memarahi.

Arkha selama ini selalu baik padanya, tak pernah marah walau lebih sering mendiamkannya. Makanya melihat Arkha marah seperti tadi, membuat Dita sedih sendiri.

Dita pun melewatkan makan siang dan memilih mengerjakan tugas yang berulang kali diminta Arkha. Namun, harus kembali tertunda karena harus mendampingi Arkha rapat bersama dewan komisaris. Baru pada pukul empat sore, Dita baru bisa kembali duduk manis di balik kubikelnya.

Ternyata ia masih belum bisa melanjutkan pekerjaannya yang tadi. Ia masih perlu menyusun ulang jadwal Arkha untuk esok hari. Ia menghubungi orang-orang terkait untuk mengonfirmasi terkait pertemuan yang akan dihadiri Arkha besok. Baru pukul enam, Dita berhasil mengerjakan tugasnya itu dan langsung menyerahkannya pada Arkha.

"Pak Arkha, mau pulang jam berapa?" tanya Dita setelah menyerahkan pekerjaannya.

"Pulang saja duluan kalau kamu sudah selesai."

Mendapat balasan dingin dari Arkha seperti itu, membuat Dita merasa seperti sedang bertengkar dengan pasangan ketimbang sedang dimarahi atasan. Sikap Arkha benar-benar menyentil jiwa pengagum rahasia yang ia punya untuk Arkha.

"Kalau begitu saya pamit pulang, Pak," ucap Dita lalu undur diri dari sana.

Langkah Dita menuju Kos terhenti di tengah JPO yang ia lintasi. Sambil menghela napas berat, Dita berdiri menyandarkan tubuh lelahnya ke pembatas jembatan. Sesaat kemudian Dita membalikkan tubuh, menjadi ke arah jalanan yang masih dipenuhi kendaraan yang berjibaku dalam kemacetan.

Dita mengambil proposal yang sengaja ia bawa dari dalam tasnya. Ia masih penasaran apa yang membuat Arkha sangat sensitif hari ini. Acara konser musik ini bekerjasama dengan salah satu penyelenggara konser musik yang berpengalaman dalam mengadakan pergelaran akbar. Dengan sponsor utama sebuah perusahaan rokok terbesar di Indonesia, salah satu produknya yang banyak digandrungi anak muda dipercaya akan menarik massa yang banyak untuk datang ke konser musik ini.

Dita menopang kepalanya dengan tangan, berpikir keras tapi tak kunjung membuahkan hasil. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan bertanya pada Arkha sendiri, tapi melihat sikap Arkha yang tidak bersahabat membuat Dita tidak berani bertanya sekarang juga. 

Dita refleks menoleh ke kiri, pada bangunan Grand Wisesa Office sambil membayangkan wajah Arkha. Ia khawatir kesalahannya ini akan mempertaruhkan statusnya sebagai karyawan percobaan. Hingga ia teringat dengan Pak Rafi dan memutuskan untuk meminta saran pada pria itu.

"Halo, Pak," sapa Dita setelah panggilan teleponnya tersambung.

"Halo, ya, Dita."

Nada ramah dari Pak Rafi membuat Dita tersenyum lega. "Maaf mengganggu waktunya, Pak. Apakah Pak Rafi sedang sibuk?" 

"Santai saja, Bu Dita. Saya sedang senggang. Ada apa?"

"Begini, Pak. Saya sebenarnya sedang bingung dengan sikap Pak Arkha," ungkap Dita jujur. Terdengar kekehan dari seberang sana, membuat Dita mengernyitkan kening. "Pak," panggil Dita memastikan Pak Rafi tidak sedang berbicara dengan orang lain, di sana.

"Ya, Bu Dita. Apa yang terjadi? Sebenarnya saya berpikir kalian sudah saling mengenal dengan baik."

"Mungkin saya terlalu lambat untuk memahami Pak Arkha," ucap Dita menyadari kesalahannya. Dita kemudian mulai menceritakan apa yang terjadi secara detail. Dari mulai ia yang tidak langsung mengerjakan perintah Arkha, hingga salah satu proposal yang Arkha tolak tanpa penjelasan.

Dan, jawaban dari Pak Rafi membuat Dita menegakkan tubuh. Pria itu menceritakan tentang Arkha yang membenci rokok, asap rokok dan semua hal yang berhubungan dengan zat adiktif yang dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi tubuh itu. Mendiang ibu Arkha meninggal saat Arkha masih duduk di bangku sekolah dasar, penyebabnya karena pneumonia akut akibat menjadi perokok pasif. Sementara Ayah Arkha juga meninggalkan dunia karena gagal jantung, yang diduga penyebabnya karena telah menjadi perokok aktif selama puluhan tahun.

Saran Pak Rafi adalah agar mengganti sponsor utama dari konser musik itu. Sedangkan sikap Arkha yang tidak menjelaskan penyebab penolakannya akan proposal itu, mungkin karena Arkha memiliki masalah lain. Pak Rafi menasehati Dita agar memaklumi sikap Arkha itu.

Dita menurunkan ponselnya dari telinga, sambil merencanakan pengajuan penggantian sponsor dengan departemen pemasaran esok hari. Hingga terdengar samar langkah kaki seseorang yang mendekat,  membuatnya menoleh ke sumber suara.

"Pak Arkha?!" serunya saat melihat wajah orang yang berdiri persis di sampingnya itu.

Dita lantas berdiri tegak, merapikan rambut pakaian serta roknya, entah untuk apa. Menelan saliva dengan kepayahan, Dita kemudian bertanya, "Pak Arkha, ada yang bisa saya bantu, Pak?"

Pria itu tidak segera menjawab. Tatapannya pada Dita tak terbaca. Jelas saja, karena mereka sedang berada di atas JPO yang tidak cukup terang pencahayaannya.

"Pak," panggil Dita lagi.

Arkha terlihat tersentak kecil.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak Arkha?" tanya Dita sekali lagi. "Kenapa harus menyusul saya kesini, Pak? Kenapa tidak menelepon saya saja?"

"Telepon kamu sibuk tadi." Arkha memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Ia melempar pandangan ke arah kerlap-kerlip cahaya lampu kendaraan di bawah sana.

"Pasti penting sekali ya Pak, sampai menyusul saya begini. Harusnya saya tidak langsung pulang tadi," ucap Dita cemas.

"Lho, yang menyusul kamu itu siapa?"

Dita jelas terperangah. Ia mulai menggaruk pelipisnya. "Lalu kenapa Pak Arkha ada di sini?"

"Saya sedang lewat."

"Oh."

"Kamu sudah makan malam?" tanya Arkha kemudian.

"Belum." Dita menggelengkan kepala pelan.

"Lalu, kenapa melamun di sini? Bahkan kamu juga melewatkan makan siang kamu, tadi."

"Saya? Melamun? Di sini?" Dita heran mengapa Arkha mengetahui ia termenung cukup lama di sini.

"Sudah, ayo temani saya makan malam!"

Dita masih tertegun atas keanehan Arkha ditambah ajakan pria itu. Ia bahkan merasakan bulu kuduknya meremang mendengarnya. Namun, belum sempat menjawab, pria itu sudah memutar tubuh dan pergi meninggalkan dirinya.

"Cepat, Dita!" seru Arkha yang kini sudah beberapa langkah di depannya.

Dita memasukkan ponsel dan proposalnya ke dalam tas. Ia bergerak cepat mengejar Arkha. Seiring dengan posisinya yang berada satu langkah di belakang Arkha, bibirnya melengkung membentuk senyum. Dan, senyum yang sama juga terpatri jelas di wajah Arkha.

TBC

Bab-nya masih berantakan, dan aku masih belum tau harus berbuat apa.

Terima kasih buat vote dan komennya ya. Kalau mau baca lebih cepat di KK boleh juga. Cuma agak beda dikit, dikit aja karena yang WP ini versi revisi 🙏

Dita and The Boss✅| Lengkap Di KaryakarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang