"Bu ... ibu!" Dita turun dari sofa dengan tergesa, lalu berjalan cepat mengejar ibunya yang sudah pergi dari sana.
Otot leher Miranti sendiri seolah kaku. Ia tidak berniat menoleh sedikitpun bahkan saat Dita terus saja memanggil.
"Bu ... Dita ..." Dita mengubah langkahnya menjadi berlari saat melihat ibunya berjalan memasuki kamarnya. "Bu, dengarkan Dita dulu!" Dita menahan pintu kamar ibunya yang akan ditutup.
"Tidak perlu. Saya tidak mau mendengar penjelasan apapun dari kamu," jawab Miranti dingin.
Pegangan tangan Dita pada daun pintu melemah. "Tidak mau mendengar, atau tidak mau mengerti, Bu?" tanyanya parau.
"Kamu berharap ibu mengerti? Kamu yang salah kenapa kamu yang menyalahkan ibu karena tak mau mengerti?" Miranti juga menurunkan tangannya dari pintu.
"Aku bukannya mau menyalahkan ibu," kilah Dita. "Tapi, benar kan, menjelaskan ataupun tidak, ibu tetap menganggap aku salah. Aku payah. Aku gagal."
Tidak ada jawaban dari Miranti, sementara air mata kian menggenang di pelupuk mata Dita. Kali ini Dita tak cukup mampu menghalau air mata itu untuk turun. Ia akhirnya menangis di depan pintu kamar ibunya yang belum tertutup sempurna itu.
"Dita mengaku salah, Bu. Dita sangat jauh dari harapan ibu. Sebagai anak sulung, Dita cuma bisa menghabiskan uang ibu. Maafkan, Dita, Bu," ucap Dita tersedu.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada Rany yang menangis sambil menatap Dita pilu. Ia juga tidak mau kesuksesannya malah jadi belati yang menyakiti kakaknya sendiri.
"Benar yang ibu bilang. Dita labil. Dita pikir menjadi sekretaris akan memudahkan jalan Dita untuk mencapai karir yang lebih baik. Tapi ternyata keadaannya malah seperti ini. Dita tidak lebih dari pegawai kontrak biasa yang kehilangan segala tunjangan jabatan Dita waktu dulu. Dita memang tidak berguna ya, Bu."
"Jangan marah sama Dita, Bu." Seperti anak kecil yang baru saja berbuat salah pada ibunya. Dita memohon, kedua lengannya kompak bergantian menyeka air matanya.
Dita tahu sang ibu kecewa padanya. Namun, tidak tahukah ibunya kalau Dita juga jauh lebih kecewa pada dirinya sendiri. Dita merasa ia benar-benar tidak becus menjadi anak. Seiring air matanya yang terus turun, Dita merasa kakinya melemas. Pintu kamar ibunya terlihat ditutup dari dalam. Dita berpegangan pada pintu, tapi akhirnya ia terduduk di dinginnya lantai. Miranti ikut serta menutup pintu hatinya untuk Dita
***
Esok paginya Dita memutuskan untuk masuk bekerja. Pada akhirnya Rany membawa serta Chava saat bekerja ke luar rumah, tentunya dengan bantuan suster. Sampai di kubikelnya ia langsung memulai membereskan pekerjaannya yang tertunda selama tiga hari ini. Untungnya Arkha mau mengerti dan memberinya izin. Dita yakin, jika atasannya bukan Arkha ia tidak bisa meminta izin seenaknya begitu.
Suara derap langkah terdengar di telinga Dita, ia refleks berdiri dari kursinya. Masih di dalam kubikelnya ia menyapa Arkha yang baru saja datang. Tidak lupa dengan senyuman lebar yang selama ini ia persembahkan untuk Arkha. Namun, tidak dengan hari ini, senyum itu hanya segaris saja. Rasa tidak enak karena sudah izin begitu lama berpadu dengan perasaan bersalah pada Miranti yang masih menggulung, membuat Dita malas untuk tersenyum.
Arkha yang menyadari senyum Dita tampak berbeda, membawa langkahnya menuju kubikel sekretarisnya itu. "Bagaimana keadaan Ibumu, Dita?" tanyanya.
"Baik, Pak," jawab Dita pendek.
Mendapat respon seperti itu, cukup menohok hati Arkha. Apalagi dilihatnya Dita juga menyembunyikan wajahnya dengan kembali menunduk. Arkha yang biasa mendapat senyum paripurna milik Dita tentu merasa kehilangan. Ia bahkan tidak bisa menikmati pemandangan alis lebat dengan mata berbinar indah milik Dita.
"Saya sedang mengatur ulang jadwal Bapak hari ini," ucap Dita. "Nanti kalau sudah selesai, saya ke ruangan bapak," sambung Dita lalu mengangguk sopan dan kembali menduduki kursinya. Arkha tertegun sesaat, lalu mundur dari sana dan melanjutkan langkahnya menuju ruangannya.
***
Seharian bekerja, Arkha terus memikirkan sikap Dita padanya yang berubah. Tadi Dita bilang akan menemuinya di ruangan, tapi hampir jam dua belas siang, gadis itu belum muncul juga. Sedang, kegiatan Arkha hari ini dihabiskan dengan mengikuti rapat daring dari dalam ruangannya.
Arkha memutuskan berjalan keluar dari ruangan, berniat mencari keberadaan Dita. Namun, baru ia membuka pintu, gadis itu muncul sambil membawa satu kotak makan siang milik Arkha. Arkha menyempatkan diri melirik kubikel Dita, mencari kotak makan siang milik gadis itu, tetapi tidak ada.
"Pak saya pamit mau makan siang di luar. Kalau ada perlu sesuatu, bapak bisa langsung hubungi saya ya, Pak," ucap Dita di ambang pintu.
Belum mendapat jawaban dari Arkha, Dita lantas berjalan memasuki ruangan bosnya itu. Ia langsung menyiapkan makan siang Arkha di meja seperti biasa.
"Dita ... kamu menghindari saya?" tanya Arkha tiba-tiba.
Pemikiran itu ia dapat begitu mengingat terakhir kali bersama dengan Dita. Di malam konser itu. Mungkin saja Dita tak merasa nyaman setelah ia dengan lancang memeluk gadis itu.
Dita menunduk, seolah membenarkan tuduhan Arkha. Namun, sejurus kemudian ia mengangkat wajah, lalu menggelengkan kepala pelan. "Untuk apa saya menghindari Bapak," jawabnya.
"Tapi, kamu kelihatan murung sekali hari ini? Apa ada sesuatu yang terjadi? Atau kamu masih butuh libur untuk menjaga ibu kamu. Saya mengizinkan, Dita. Setidaknya sampai ibu kamu sembuh," tutur Arkha.
"Saya minta maaf, kalau sikap saya membuat Pak Arkha tidak nyaman, karena membawa masalah pribadi ke pekerjaan." Dita menyesali kali ini tidak cukup mampu menyembunyikan perasaan yang mengganggunya. Biasanya ia paling mahir menekan segala perasaan sedih setiap kali memiliki masalah dengan ibunya.
"Tidak apa-apa, Dita. Tapi kalau memang kamu butuh waktu untuk menenangkan diri, kamu bisa pulang dulu. Kamu juga kelihatan kurang sehat."
Dita melihat Arkha menatapnya dengan lekat. Namun, kali ini ia tidak merasakan apapun. Isi kepalanya kini dipenuhi rasa bersalahnya pada sang ibu. Untuk urusan perasaan pada Arkha sepertinya Dita juga akan berpikir ulang. Dita tidak ingin salah paham hanya karena sikap Arkha malam itu.
"Saya baik-baik saja, Pak. Saya cuma mau makan siang di luar. Jam satu nanti saya kembali lagi ke kantor," jawab Dita akhirnya. "Saya permisi dulu, ya, Pak!"
Arkha menatap punggung Dita yang menjauh. Berpikir mungkin saja Dita memiliki masalah dengan ibunya. Pintu sudah Dita tutup dari luar, Arkha duduk di sofa menyantap makan siangnya seorang diri. Padahal tadi ia berencana meminta Dita untuk menemaninya makan siang.
Perasaan untuk menghibur dan membantu Dita keluar dari masalahnya begitu terasa kuat. Arkha sampai menunda makan siangnya, dan memilih kembali ke meja kerjanya mengambil ponselnya yang tertinggal di sana. Dibukanya ruang obrolannya dengan Dita di ponsel dan mulai mengetikkan pesan.
Arkha : Izinkan saya membantu menyelesaikan masalah kamu, Dita? Bukankah sebagai teman kita harus saling membantu?
Sent.
Harus bantu dong Pak, kalau emang demen, eh ... temen.🤭Terima kasih buat vote dan komentarnya ya temen-temen ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Dita and The Boss✅| Lengkap Di Karyakarsa
ChickLitCinta berada di urutan kesekian dalam daftar tujuan hidup yang ingin dicapai Dita. Bahkan saat sang adik naik ke pelaminan lebih dulu, Dita tidak masalah. Ia sibuk bekerja dan mengumpulkan uang, demi memenuhi standar sang ibu yang menilai kesuksesan...