Beberapa saat yang lalu, Arkha memang bertanya pada Pak Rafi, apakah sekretaris barunya sudah datang? Namun, balasan pesan yang ia terima dari Pak Rafi justru sebuah foto Dita yang sedang serius mempelajari berkas di kubikelnya.
Beberapa kali bertemu Dita, membuat Arkha dapat mengenali gaya rambut Dita biasanya. Rambut hitam lurus itu, kalau tidak diikat satu, pasti hanya terurai saja sampai ke bahu. Namun, kali ini Dita menggelung rambutnya membuat lehernya terekspos sempurna. Setelah ini Arkha berniat menegur Pak Rafi karena sudah tidak sopan sudah mengambil foto Dita tanpa izin seperti ini.
Arkha memeriksa arlojinya, yang baru menunjukkan pukul sebelas siang. Ia ada pertemuan dengan dewan komisaris GWM jam dua siang nanti. Sekarang hingga tiga jam ke depan ia tidak memiliki pekerjaan berarti. Semua berkas yang perlu ia tanda tangani baru saja ia selesaikan. Urusan mengajarkan sekretaris baru sudah ia serahkan pada Pak Rafi, membuat Arkha merasa jenuh sendiri di ruang kerjanya ini.
Ia berjalan keluar dari ruangan, berbelok ke kanan menuju toilet. Kebetulan toilet di dalam ruangannya memang masih dalam perbaikan. Beberapa langkah menuju toilet pria, ia mendapati pintu toilet wanita bergerak tertutup. Pikiran Arkha langsung tertuju pada satu-satunya wanita yang ada di lantai lima ini, yang tak lain adalah Dita.
Menyelesaikan urusannya di toilet, Arkha menuju kubikel Dita. Ide untuk menyapa sekretaris barunya itu, muncul begitu saja. Namun, begitu sampai di sana, tidak ada Dita di kubikelnya.
Entah dorongan apa yang membuat Arkha memastikan keberadaan Dita di toilet perempuan. Ia berdiri di depan lorong menuju toilet, dengan tangan bersedekap di depan dada. Instingnya mengatakan Dita masih berada di dalam sana.
"Dita!" panggil Arkha lebih terkesan berbisik.
"Are you okay, Dita?" Arkha sedikit menaikkan nada suaranya.
"Kamu di dalam, kan?" Arkha mulai tak sabar.
Tak mendapat jawaban apapun dari dalam toilet perempuan itu, Arkha tak kehilangan akal. Ia mengambil ponsel dan menghubungi Pak Rafi. Namun, pria tua itu tidak kunjung menjawab. Ingin menghubungi Dita langsung, tapi ia belum memiliki nomor ponsel sekretarisnya itu.
Arkha memutuskan kembali ke kubikel Dita, berharap bertemu Pak Rafi di sana. Namun, Pak Rafi juga belum kembali. Berkacak pinggang, Arkha menahan kesal pada Pak Rafi yang tidak jelas keberadaannya.
Hingga terdengar suara langkah kaki dari arah kanan ruangannya, membuat Arkha menoleh dengan cepat. Dita berjalan sambil menundukkan kepala, langkahnya tampak lelah tak bertenaga.
"Dita," panggilnya, saat gadis itu berjalan melewatinya begitu saja.
Gadis itu berhenti lalu perlahan mendongak mengangkat wajah. Sebuah senyum terukir sempurna di wajahnya. Senyum yang biasa Dita berikan, yang berujung ia abaikan. Namun, kali ini wajah cantik itu nampak berbeda. Ada keringat di pelipis gadis itu, matanya juga sedikit sendu dan memerah. Arkha tentu penasaran apa yang terjadi dengan gadis di hadapannya itu. Apalagi tadi menghabiskan waktu cukup lama di dalam toilet.
"Kamu ...." Kali ini Arkha benar-benar tidak bisa menahan diri untuk menanyakan keadaan Dita.
"Iya, Pak?"
"Kamu ... tahu, kemana perginya Pak Rafi?" tanya Arkha akhirnya.
"Saya tidak tahu, Pak," jawab Dita setelah hening sebentar.
Arkha meneliti wajah Dita dengan seksama saat gadis itu menjawab pertanyaannya. Sekilas, pemilik wajah cantik itu terlihat baik-baik saja. Arkha mendesah dalam hati, merutuki dirinya yang tak bisa sekali saja tidak menilai kecantikan wanita di depannya ini. Ia juga menyesali dirinya yang tak bisa jujur bertanya apa yang terjadi pada Dita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dita and The Boss✅| Lengkap Di Karyakarsa
Chick-LitCinta berada di urutan kesekian dalam daftar tujuan hidup yang ingin dicapai Dita. Bahkan saat sang adik naik ke pelaminan lebih dulu, Dita tidak masalah. Ia sibuk bekerja dan mengumpulkan uang, demi memenuhi standar sang ibu yang menilai kesuksesan...