2

4.2K 495 11
                                    

Senja tidak pernah tau jika dua hari itu akan berlalu dengan cepat. Bang Langit, ibu dan dirinya sudah tidak bisa dikatakan baik. Mencari uang 500 juta tidak semudah membalikkan telapak tangan tentunya.

Siapa yang akan meminjamkan 500 juta dengan Cuma-Cuma tanpa jaminan? Mereka tidak memiliki apapun untuk menjadi jaminan mencari 500 juta itu. Langit juga tidak akan bisa mendapatkan itu dari kantornya. Meminjam bank? Lagi-lagi mereka meminta jaminan.

Seperti Senja yang akan dijadikan jaminan jika mereka tidak bisa memberikan uang itu hari ini.

Langit sudah tidak bisa menahan emosinya, ia bahkan sudah memaki bapak yang hanya bisa mengeluarkan air mata di atas Kasur.

"Dari dulu bapak nggak pernah bikin kita tenang. Dari dulu bapak selalu buat kita menderita." Teriak Langit, "Bapak nggak tau perjuangan aku gimana bisa bahagiain ibu dan Senja. Bapak nggak tau seberapa capeknya aku kerja keras untuk mereka. Sekarang? Dengan mudah mereka tagih uang ke kita. Padahal aku, ibu maupun Senja nggak pernah pakai uang itu." Suara Langit sudah teredam dengan suara sesaknya. Senja yakin, pertahanan Langit akan runtuh. Langit terisak. Untuk pertama kalinya Senja melihat Langit menangis.

Dulu, Ketika bapak pulang dengan keadaan mabuk dan memukuli mereka bertiga, Langit tidak pernah nangis. Langit akan pasang badan membiarkan dirinya terkena pukulan bapak. Badan berdarah dan biru pun tidak pernah menjadi alasan air mata Langit jatuh. Tapi, hari ini membayangkan Senja akan dibawa tanpa bisa Langit melakukan apapun pertahanannya runtuh. Langit merasa tak berguna.

"Dek." Langit memeluk Senja.

Senja hanya menepuk bahu Langit pelan, "Nanti kita negosiasi lagi ya."

Suara ketukan pintu membuat Senja terkejut. Jantungnya sudah berdetak hebat. Ia tidak bisa berpikir jernih. Senja melihat ibunya yang tidak jauh berbeda dengan dirinya. Bergetar takut. Senja langsung memeluk ibunya. Menepuk bahu ibunya pelan.

"Bagaimana?" tanya Pak Hasan.

"Beri kami waktu lagi, Pak. Dua hari mana mungkin kami bisa bawa uang sebanyak itu."

Pak Hasan tertawa, "Berapa lama?"

"Biarin kami mencicilnya, pak." Ucap Senja pelan.

Pak Hasan berdecih, "Cicil berapa kali dan berapa lama?"

"Secepatnya." Jawab Langit.

Pak Hasan mengangguk, "Dia sebagai jaminannya. Selama kamu belum bisa melunasi, dia akan ikut dengan saya."

"Jangan!" ucap Langit, "Jangan bawa adik saya."

Lagi-lagi Pak Hasan tertawa meledek, "Kamu sendiri susah mendapatkan uang 500juta tanpa jaminan. Begitu juga dengan saya, saya mana mungkin percaya kamu akan bayar tanpa jaminan untuk saya?"

"Saya pasti bayar. Saya janji."

"Selama itu adikmu harus ikut saya."

"Kalau saya ikut bapak, saya nggak bisa bantu abang saya kerja dan mencari uangnya." Jawab Senja tanpa takut.

"Kamu bisa kerja sama saya."

Senja menggeleng.

"Saya nggak bernegosiasi. Adikmu ikut saya." Ucap Pak Hasan pada Langit, "Atau abangmu yang masuk penjara." Lanjutnya pada Senja.

Senja menahan napas, ia jelas tidak akan membiarkan Langit masuk penjara. Ibunya siapa yang akan menjaga?

"Ok.. Ok.." jawab Senja, "Saya setuju."

Pak Hasan tersenyum, "Kamu akan saya bawa ke kampung saya. Selama itu kamu akan tinggal dan menjadi istri dari dia." Ucap Pak Hasan menunjuk laki-laki yang selalu berdiri di samping Pak Hasan.

"Nggak!" ucap Langit, "Tidak ada pernikahan."

"Terus kamu mau adikmu tinggal dan dianggap berzinah dengan Barry?" ucap pak Hasan.

"Kenapa harus menikah?" tanya Senja.

"Menurut kamu orang kampung membiarkan kamu tinggal berdua dengan Barry tanpa ikatan?"

Senja diam. Ia menatap Langit dan ibunya. Ini bukan penyelesaian yang mereka pikirkan tadi.

Senja dan Langit bernegosiasi mencicil hutang tersebut bukan malah menikah dengan Barry.

"Gimana Senja? Kamu pilih mana? Langit di penjara atau kamu menjadi jaminan dan menikah dengan Barry?" ucap Pak Hasan.

"Tangkap Langit." Ucap pak Hasan Ketika tidak ada jawaban dari senja.

"Ok. Ok." Ucap Senja sedikit teriak Ketika orang-orang Pak Hasan memegang Langit. "Aku setuju. Jangan sentuh Langit dan ibu."

"Anak berbakti."

*

Senja selalu berpikir dimana ia bisa hidup dengan tenang? Dari dulu Senja akan selalu ketakutan meskipun itu di dalam rumahnya. Karena sumber dari ketakutannya adalah bapak yang tidak segan mencaci dan memukul dirinya.

Ketika Senja, Langit dan ibunya memutuskan untuk kabur dan meninggalkan bapak, Senja baru merasakan kehidupan yang sedikit tenang. Perlahan mimpi dan cita-citanya tersusun kian rapi di benaknya. Senja bahkan bisa sekedar ngobrol santai dengan teman kantornya.

Sejak sekolah, Senja tidak memiliki teman. Sepulang sekolah, Senja akan langsung pulang untuk melindungi ibunya. Senja takut jika ibunya akan dipukuli bapak sendirian.

Sekarang, Ketika Senja berpikir jika dirinya bisa hidup tenang karena sudah jauh dari bapak semua itu tidak bertahan lama. Seakan bapak memang harus selalu melekat dengan kehidupannya. Sejauh apapun Senja kabur, sedekat itu bapak akan mengejarnya.

Pemandangan pohon dan jurang sudah menghiasi Senja sedari tadi. Senja bahkan tidak bisa hanya sekedar menutup mata mau selelah apapun tubuh dan pikirannya.

Di sampingnya ada Barry yang sedang focus menyetir sedangkan di belakang ada Pak Hasan yang sudah tertidur.

Senja melihat kertas di dalam genggamannya. Surat pernikahan dirinya dan Barry yang baru saja mereka dapatkan tadi pagi.

Senja tersenyum kecil, uang memang segalanya bukan? Mereka mendapatkan surat pernikahan dengan mudah tanpa harus menjalankan apapun.

Pernikahan Senja dan Barry sah di hukum dan agama.

Padahal Senja dan Barry sama sekali tidak menyiapkan dokumen apapun. Tetapi semua bisa selesai karena uang.

"Masih jauh. Tidur saja kalau mengantuk." Ucap Barry.

Barry melihat Senja yang hanya diam melihat jalan yang mereka lalui. Wanita di sampingnya sudah menjadi istrinya. Barry mengingat dengan jelas segala detail kejadian. Hanya dalam kurun waktu dua hari, statusnya berubah.

"Ketika melihat wajah gadis itu, uang sudah tidak lagi tujuan utamaku. Gadis itu, gadis yang baik terlihat bagaimana ia melindungi ibunya dari kita. Anak yang baik akan menjadi istri yang baik juga untukmu." Ucapan Pak Hasan terngiang di kepalanya.

Barry tidak pernah bisa mengatakan tidak pada Pak Hasan. Hidupnya sudah bergantung pada beliau. Barry sampai di titik ini semua berkat Pak Hasan. Hutang uang ditambah hutang budi sudah mandarah daging untuk Barry.

Meskipun Pak Hasan tidak pernah memaksanya, selalu bertanya kepadanya bersediakah Barry tetapi ia akan selalu mengiyakan permintaan Pak Hasan termasuk menikahi wanita itu.

Bukan hanya Barry saja yang dibantu oleh Pak Hasan, seluruh keluarganya dibantu Pak Hasan. Ibu dan bapaknya bisa hidup enak dengan kebun yang cukup, kedua adiknya bisa berkuliah dan Barry sendiri hidup dengan enak semua berkat bantuan Pak Hasan.

Pak Hasan bukan boss yang otoriter atau memaksakan kehendak, tidak. Barry tau Pak Hasan sudah menganggap dirinya sebagai anak. Kesendirian Pak Hasan membuatnya semakin erat dengan kehadiran Barry.

Pak Hasan hanya bisa menikahkan, sekarang Barry yang kelimpungan. Ia tiba-tiba mendapatkan tanggung jawab seorang istri. Meskipun hanya sebagai jaminan, tetapi tetap seorang istri kan?

Barry bahkan sesekali melihat tangan Senja mengeratkan genggaman seakan ingin merobek surat pernikahan mereka. Barry tidak bisa menyalahkan Senja. Ia tau jika wanita itu kaget seperti dirinya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.

Yang bisa Barry lakukan adalah melewatinyakan?

Barisan Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang