Senja melihat wajah keriput ibunya. Wajah sendu tak bisa disembunyikan dari sana. Bapak terbaring stroke karena darah tinggi. Istri mana yang tidak sedih melihat suaminya terbaring lemah? Bapak biasanya suka memaki, memukul dan bersikap kasar pada kami -Senja, ibu dan bang Langit- sekarang melihatnya terbaring lemah tak berdaya siapa tidak sedih?
Senja sendiri tidak tau harus sedih atau senang. Sebagian hatinya senang, karena kami tidak perlu menjadi samsak hidup baginya lagi. Tetapi Sebagian hati merasa kasihan melihat bapak yang harus terbaring lemah seperti itu.
Bapak bukan sosok baik yang bisa jadi panutan untuk Senja. Senja hanya menyayangi ibu dan Bang Langit. Bapak sering berjudi tanpa tau Batasan. Jika sedang menang, bapak akan dengan baik hati membawa pulang makanan enak untuk kami, jika sedang kalah, jangan harap kami bisa tenang. Semua barang, piring dan tubuh sudah jadi sasaran empuk untuknya melampiaskan kekesalan kekalahan yang ia terima.
Semenjak sekolah menengah terakhir, Senja sudah mengajak ibunya untuk kabur dan meninggalkan bapaknya. Mereka bertiga sudah hidup dengan tenang sampai akhirnya ada yang mencari ibu memberitahu tentang keadaan bapak yang terbaring lemah. Senja yakin, ibunya tidak akan tega untuk meninggalkan bapak. Ibu akan merawat bapak. Ibunya terlalu mencintai bapak yang tidak pantas dicintai.
Bang Langit sudah menggeram kesal, bagaimana tidak? Kehidupan yang sudah ditata selama beberapa tahun terakhir seperti sia-sia. Pengorbanan Bang Langit tidak sedikit. Ia rela untuk bekerja setelah sekolah tanpa kuliah dan membiayai Senja untuk bisa berkuliah.
Baru satu tahun terakhir mereka merasakan kenyamanan secara financial karena Senja sudah bekerja dan menghasilkan uang. Meskipun masih ngontrak tetapi Senja dan Bang Langit berencana mengambil sebuah rumah kecil untuk mereka bertiga.
"Ibu nggak bisa tinggalin bapakmu begitu saja." Ucap Ibu pelan. Membuat Senja mendengus kecil. "Biar bagaimanapun dia bapakmu kan?"
Senja dan Langit diam saja mendengar ucapan Ibunya. Tidak perlu didebat karena bagi kami suara ibu adalah final. Apapun yang ibu inginkan adalah hal mutlak, Senja dan Langit sudah sepakat tentang itu. Apapun yang membuat ibunya senang, mereka akan lakukan.
Seperti sekarang, mereka harus membawa bapak ke rumah yang mereka tempati. Rumah dimana mereka kabur dari bapak.
Meskipun tidak besar, hidup mereka bertiga sangat Bahagia. Langit sudah terbiasa menjaga ibu dan Senja.
"Dek, kamu nggak apa?" tanya Langit Ketika menutup pintu kamar ibu. Mereka baru saja membaringkan bapak di Kasur ibu.
Senja menghembuskan napas kesal, "Mau gimana lagi? Bang Langit tau sendiri gimana cintanya ibu ke bapak. Raga boleh jauh beberapa tahun, tapi Bang Langit tau kan hatinya selalu sama bapak?"
Langit mengangguk, ia setuju dengan Senja.
"Toh, bapak sekarang stroke nggak bisa kasarin kita lagi. Aku nggak apa."
Senja berdecak kesal Ketika Langit mengacak rambutnya, "Abang ihh."
"Adek abang udah besar ternyata."
Senja meninggalkan Langit yang masih terkekeh. Sebenarnya kalau boleh jujur, Senja tidak pernah menginginkan bapaknya Kembali. Kehidupannya sudah sangat baik.
Senja sudah bekerja bisa membeli apapun menggunakan uangnya. Senja bahkan bisa menggunakan ponsel terbaru yang lagi hits, membeli tas dan segala kebutuhan dirinya sendiri. Itu baru Senja lakukan Ketika ia sudah mendapatkan gajinya sendiri.
Sebelumnya, Senja hanya menjadi beban bagi Langit. Bang Langit memaksanya untuk kuliah meskipun Senja bilang ia tak mengapa untuk langsung bekerja. Tetapi Langit mengatakan kehidupan Senja harus lebih baik dari ibu dan Langit.
Meskipun Langit hanya lulusan SMK, tetapi ia sudah memiliki jabatan yang lumayan di kantornya. Langit menjadi orang kepercayaan bossnya sehingga kehidupan mereka sudah sangat baik.
Semua mereka bangun untuk kehidupan bertiga.
*
"Yeeay, pulanggg." Suara Hilda bergema di ruangan. "Senjaaaaa, jadi kan kita ngopi?"
Senja berdecak, "Sore-sore gini mau ngopi. Bisa nggak tidur sampai Senin."
Hilda tertawa, "Nyoklat aja kalau gitu."
Senja bergegas menaruh semua barangnya ke dalam tas Ketika ponselnya berbunyi. "Ibu calling's" membuat Senja mengerutkan kening.
"Halo?"
"Kamu cepet pulang, nak. Sekarang ya!!"
"Ibu kenapa? Halo? Halo?" Senja melihat ponselnya sudah gelap.
"Hilda, aku nggak bisa nemenin kamu. Ibu tiba-tiba telpon panik. Aku duluan."
Senja langsung pulang secepat kilat. Selama beberapa tahun terakhir Senja sudah tidak pernah mendengar suara ibunya bergetar seperti tadi. Senja tidak tenang. Senja hendak menelpon Langit tetapi ia baru ingat jika Langit sedang tidak di Jakarta. Langit sedang dinas ke Singapura menemani bossnya.
Senja hanya berdoa jika taksi yang ia tumpangi cepat sampai di rumah. Jarak rumah dan kantor memang tidak terlalu jauh, tetapi sekarang Jumat sore semua orang sedang merayakan TGIF-nya.
Senja langsung berlari menuju rumah. Pintu depan sudah terbuka, foto-foto berserakan di lantai, pecahan-pecahan dari figura berceceran dimana-mana. Senja langsung masuk ke ruang tengah. Disana, ibunya duduk di lantai dengan bapaknya yang sudah tiduran tak berdaya di lantai.
"Ibu kenapa?" tanya Senja.
Ibunya hanya bisa menangis, Senja melihat beberapa orang berpakaian hitam sedang duduk di sofanya.
Tiga orang berdiri tak jauh dari sofa, satu orang duduk dengan gaya jumawa dan satu orang lagi berdiri di sampingnya.
"Kalian siapa?" hardik Senja, "Kenapa merusuh? Perlu saya panggilkan polisi?"
"Jangan, nak." Tangan Ibunya menahan tangan Senja yang hendak mengambil ponsel.
Suara tertawa terdengar dari laki-laki paruh baya yang sedang duduk di sana, "Polisi?" ucapnya dengan tawa sinis, "Yang ada bapakmu itu yang kami penjarakan."
Senja mengerutkan kening tak mengerti.
"Bapakmu berhutang pada Pak Hasan sebesar 500 juta."
Mata Senja bisa saja keluar Ketika nominal yang sangat besar. Untuk apa bapaknya berhutang sebegitu besar?
"Kami nggak punya uang." Ucap Senja.
Pak Hasan tersenyum kecil mendengar jawaban Senja, "Menurutmu kami peduli? Kami butuh uang itu, makanya kami datang ke sini."
"Tapi kami nggak punya uang sebanyak itu."
Pak Hasan mengangguk, "Pilihanmu hanya memberikan uang tersebut atau bapakmu masuk penjara."
Masukkan saja ke penjara. Itu jawaban Senja berikan tetapi dalam hati. Mendengar suara isakan tangis ibunya membuat Senja diam membeku.
"Kami beneran nggak punya uang segitu."
"Kami tidak memiliki negosiasi."
"Terus? Kami memang nggak punya uang segitu." Ucap Senja, "Kalau gitu masukkan saja bapak ke penjara."
Pak Hasan tersenyum, "Meskipun bapakmu masuk penjara, kalian harus tetap melunasi hutang tersebut."
"Beri kami waktu."
"Dua hari." Ucap pak Hasan, "Jika dalam dua hari uang itu tidak ada. Kamu harus ikut saja sebagai jaminan nanti keluarga kamu akan melunasi hutangnya."
"Nggak. Mau bagaimana kita dapat uang sebanyak itu?"
"Saya nggak peduli."
Setelah itu mereka berbalik, meninggalkan Senja yang terdiam dengan suara tangisan ibunya dan bapak yang merintih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Barisan Senja [TAMAT]
RomanceSenja membenci bapaknya, dari dulu hingga sekarang bapaknya selalu menjadi alasan atas kesedihannya. Belum cukupkah Senja menderita ketika harus mendapat caci, maki dan samsak ketika ayahnya marah? Sekarang Senja bahkan harus menjadi jaminan dan m...