Senja merasa hatinya berdetak lebih cepat ketika melihat Barry menggunakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Tidak bisa Senja pungkiri, Barry memang tampan ditambah sekarang Barry berpakaian rapi. Membuat Senja suka sekali melihatnya. Padahal, awal kali pertama melihat Barry, ia juga menggunakan kemeja hitam dan celana hitam tetapi efeknya tidak sedhasyat ini. Ada apa dengan Senja?
"Aku akan ke kota. Kamu mau ikut?"
"Tumben rapi?"
"Iya. Kamu mau ikut?" tanya Barry sekali lagi.
Senja menggeleng, "Aku di rumah aja urus bunga-bunga."
Barry tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, "Kalau nitip?"
Senja berpikir, "Nggak. Nggak nitip apa-apa."
"Hari ini mungkin aku bisa nggak pulang atau pulang subuh. Kamu nggal usah tungguin ya."
Kali ini Senja mengerutkan kening, "Kamu mau ke kota atau kemana?" tanya Senja.
"Ke kota." Jawab Barry, "Kenapa? Takut di rumah sendiri?"
Senja menggeleng, "Takut apa?"
Barry mengangkat ke dua bahunya, "Mana tau kamu takut."
"Lebih takut nggak bisa bayar hutang." Senja berlalu meninggalkan Barry.
Barry menggelengkan kepalanya. Ia tiba-tiba melihat segala perlengkapan Senja. Hampir semua sudah mau habis. Ia menghapal semua kebutuhan Senja mungkin ia bisa mampir untuk membelikan perlengkapan Senja nanti.
Senja melihat Barry yang sudah menjauh dari pandangan matanya. Perlahan tapi pasti mobil Barry menghilang. Senja menghembuskan napas lesu.
Senja tidak mengerti akhir-akhir ini dengan dirinya. Ia seperti lebih menyukai Barry yang berada di sekitarnya meskipun Barry hanya menonton TV, makan, duduk atau tiduran sekalipun.
Senja sangat tidak suka ketika mendengar Barry harus pergi lama dan pulang subuh. Entah mengapa.
Dan benar terjadi, hari ini Senja sangat uring-uringan. Baru jam 9 malam rasanya sudah lama sekali dan Senja tidak tahan menunggu Barry kembali.
Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. "Ibu's calling."
"Hallo, bu?"
"Kamu kok nggak ikut Barry ke rumah, nak?"
"Maksudnya?"
"Loh, Barry tadi datang ke rumah. Bawa beli banyak barang buat ibu. Ibu sampe dibeliin mesin pijit bahu. Katanya biar nggak pegel jagain bapak."
"Bang Barry nggak bilang mau ke rumah. Bang Barry Cuma bilang mau ke kota. Adek nggak tau kalau bakal ke rumah. Kalau ke rumah, adek pasti ikut."
"Iya. Ini nak Barry juga beli barang kebutuhan sehari, terus ibu dikasih uang juga. Katanya buat ibu pegangan kalau ibu mau jajan."
Air mata Senja jatuh. Entah karena ia merindukan ibunya atau karena perlakuan Barry pada ibunya. Padahal sudah jelas, Barry tidak perlu melakukan hal itu sudah jelas.
"Loh, kok nangis, dek?"
"Rindu ibu." Iya, itu pasti jawabannya. Senja merindukan ibunya. Senja bahkan tidak berani menghitung sudah berapa lama dia tidak bertemu dengan ibunya.
"Ibu juga kangen. Tapi tadi Barry ada kasih lihat foto-foto kamu. Untung saja kamu nggak repotin nak Barry katanya. Kamu nanem bunga memangnya bisa?"
"Emang Bang Barry kasih foto adek lagi apa?"
"Banyak. Kebanyakan sih kamu lagi bebersih. Itu ibu nggak bakal heran. Ada foto kamu lagi sirem taneman, masak, sikat kamar mandi dan jemur sprey." Ucap ibu tertawa, "Kata Barry rumahnya jadi bersih dan rapi semenjak ada kamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Barisan Senja [TAMAT]
RomansaSenja membenci bapaknya, dari dulu hingga sekarang bapaknya selalu menjadi alasan atas kesedihannya. Belum cukupkah Senja menderita ketika harus mendapat caci, maki dan samsak ketika ayahnya marah? Sekarang Senja bahkan harus menjadi jaminan dan m...