Dua pasang janur kuning berdiri mengapit jalur masuk pada muka gedung.
Karpet merah sengaja dibentangkan sebagai jalan bagi para tamu undangan. Pregolan yang dihiasi bunga-bunga segar berwarna peach dan putih, dipasang di sepanjang jalan menuju pelaminan kedua mempelai. Pelaminannya sendiri cukup megah dan luas; tepat di belakang kursi pengantin, terdapat gebyok Jawa dari kayu jati yang penuh ukiran detail. Di beberapa sudut gebyok, rangkaian bunga segar dipasang untuk menambah kesan elegan nan cantik. Pada tiap ujung gebyok juga berdiri lampu antik dengan pencahayaan warm white.
Gedung pesta yang luas mampu menampung hingga dua ribu tamu undangan. Jadi, meski pun keluarga Sasongko menyebar lebih dari seribu undangan, keadaan tetap nyaman tanpa penuh sesak.
Iman dan Melati berdiri menyalami para tamu undangan yang didominasi oleh keluarga dan kolega penting dari pihak Bimo Sasongko. Mereka sangat serasi dengan balutan pakaian adat Jawa. Tubuh langsing Melati ditutupi oleh kain kemben panjang yang disebut kain dodot. Sementara, kepalanya disanggul lengkap dengan paes warna hitam sesuai dengan adat Yogyakarta. Hiasan kepala Melati cukup berat dengan aksesori keemasan tersusun rapi, mulai dari sisir gunungan yang terpasang tegak lurus, hingga cunduk mentul berjumlah lima biji.
Sedangkan Iman, kain kemben menampakkan dada dan menutup bagian atas perut atas hingga ke bawah. Pada telinga kiri dan kanan dipasang sumping keemasan yang untaian bunga melati yang menggantung. Lelaki itu memakai topi biru yang disebut Kuluk Kanigara sebagai penutup kepalanya.
"Kenapa tamunya tidak habis-habis? Aku mau pingsan berdiri terus," bisik Melati pada Iman.
"Bertahanlah," sahut Iman mempertahankan senyum. "Kurasa, tamu-tamu papi dan mami belum datang semua."
Melati mengembuskan napas jengah. "Hiasan di kepalaku sangat berat," keluhnya. "Pusing dan lelah sekali rasanya."
Iman meringis.
"Sudahlah. Bukan cuma kamu yang menderita. Putingku juga mengeras karena terkena udara AC."
Tawa Melati pecah. "Kenapa kita tidak pakai busana Barat saja, sih? Simple!"
"Mami dan Papi itu konvensional," jelas Iman. "Pernikahan ini mereka semua yang atur sedemikian rupa. Aku sudah dibebaskan memilih pasangan sendiri, jadi aku hanya bisa pasrah ketika mereka ngotot mempersiapkan pesta resepsi kita."
Melati kembali melenguh. "Hmh, ya," desahnya. "Pernikahan pertamamu juga begini?"
Iman berdeham. Pertanyaan dari Melati membangkitkan kenangan rumah tangganya bersama Nadia. Memori pahit yang sebenarnya enggan ia ingat-ingat.
"Lebih parah dari ini. Pesta digelar tiga kali. Akad nikah, resepsi pernikahan, lalu unduh mantu," jawab Iman.
Melati mengamati perubahan ekspresi Iman. Mata lelaki itu mendadak nanar. "Oh ..." gumamnya. Seingat Melati, Iman selalu berubah lebih pendiam jika membahas soal mantan istrinya.
Melati sontak hening.
Ia menduga Iman masih memiliki 'perasaan' pada Nadia. Dan, keberadaannya bukanlah semata-mata sebagai pemenuh janji Iman terhadap Bimo dan Farah. Akan tetapi, juga sebagai ajang balas dendam Iman terhadap Nadia. Ah, entahlah.
Sambil terus menyalami tamu yang tak ada habisnya, Melati sesekali mencuri pandang ke arah Iman.
Dia adalah suaminya sekarang.
Gila-memang.
Melati masih ingat saat dirinya refleks menangis sesegukan saat akad nikah tadi pagi. Bukan tangis haru atau kebahagiaan-bukan. Lebih kepada meratapi nasibnya karena rela menjual masa lajang dan kebebasan demi uang. Parahnya, uang itu bukan untuk kepentingannya. Namun, beban dari bapaknya Yanuar yang tidak bertanggung jawab. Ada nelangsa menyergap relung Melati. Mau disanggah bagaimana pun, kehidupannya akan berubah 180 derajat selepas ini. Melati harus konsisten mempertahankan kebohongan. Menjalani hari-hari sebagai penipu ulung.

KAMU SEDANG MEMBACA
SUGARBABY
RomanceA dark romance story about marriage contract. (21+) bijaklah memilih bacaan yang sesuai dengan umur ♡ Iman yang masih ingin bersenang-senang selepas bercerai, memaksa seorang Sugarbaby cantik dan seksi untuk menjadi istrinya. Akan tetapi, seiring wa...