23. Handcuff

1.4K 78 3
                                    

Pintu utama vila belum menutup sempurna, tetapi Iman dan Melati sudah saling memagut penuh gairah.

Hasrat mereka tak lagi terbendung. Iman membopong Melati menuju kamar sambil melumat bibir wanita itu dengan liar. Kedua kaki Melati melingkar erat di pinggang Iman. Dengan keras, Iman membuka pintu kamar untuk merebahkan Melati ke atas ranjang. Kali ini, ia bisa pastikan tidak ada lagi gangguan.

Melati berbaring menggeliat ketika Iman melanjutkan ciuman ke atas leher jenjangnya. Ia meremas rambut tebal Iman agar terbenam bersamanya.

"Tidak ada lagi jalan untuk mundur, Mel," kata Iman.

Melati membingkai Iman melalui mata berkilat. Ia sadar akal sehatnya sudah hanyut terbawa arus laut.

"Kamu bukan tipe hit and run, kan, Man?" tanya Melati.

"Kupastikan aku bukan lelaki seperti itu," jawab Iman. "Aku tak akan meninggalkan, mengabaikan, atau menyakitimu selepas kita bercinta."

Melati menarik Iman agar kembali mencumbunya. "Aku tahu ... aku tahu," gumamnya.

"Kamu bukan pelarian, Mel," kata Iman. "Kamu istimewa."

"Kenapa?" selidik Melati.

"Entahlah," kilah Iman. "Yang jelas, kamu merupakan wanita yang spesial bagiku."

Melati mengangguk.

Iman melanjutkan, "Justru aku khawatir sikapmulah yang akan berubah setelah selesai bercinta denganku."

"Kenapa begitu?" Melati tersenyum simpul. "Karena kamu ternyata ejakulasi dini?"

Iman terkekeh. "Soal itu, bisa kamu buktikan sendiri." Ia menegakkan badan untuk melepaskan kemeja. Sejurus kemudian, barisan otot dada dan otot perut yang berjajar sempurna sudah terpampang bagi Melati.

"Man," tahan Melati.

"Kenapa?" Iman mengernyit cemas. Apakah mungkin, Melati berubah pikiran lagi? Ah, dia bisa gila!

"Kuamati," ucap Melati. "Kamu adalah tipe lelaki yang terobsesi menjadi pemuas wanita."

"Lalu?"

"Kenapa tidak mencoba pasrah dan membiarkanku memuaskanmu?" Melati menurunkan risleting dress merah muda yang ia kenakan. Gaun pendek berbahan sifon itu jatuh begitu saja ke atas lantai marmer yang dingin.

"Se-serius?" Iman terpesona oleh visual Melati yang aduhai.

Melati mengiakan.

Secara tak sengaja, netra Melati menemukan benda mencolok tergeletak di nakas. Ia seketika mengernyit dan bergegas mengambilnya. "Apa ini?" tanyanya.

"Oh itu ..." Iman mendeham. "Punya Sara. Kami tadi hampir bercinta, tapi akhirnya batal karena pikiranku dipenuhi olehmu."

"Kalian menggunakan borgol saat hendak bercinta?" Melati tak habis pikir.

"Permainanku dan Sara memang sedikit kink ..." terang Iman. "Ayolah, Mel, nggak usah dibahas." Ia cemas Melati kehilangan mood karena membahas Sara.

Ekspresi Melati merengut.

"Permainan kalian selalu seru dan membara, ya? Kamu menyesal urung bercinta dengan Sara? Atau jangan-jangan kamu bohong padaku—bisa saja kamu dan dia sudah melakukannya tadi."

"Astaga, Mel!" Iman melotot. "Staminaku bagus, mana mungkin permainanku cuma beberapa menit saja. Lagi pula aku lelaki normal, kalau sudah crot sulit buat tegang lagi!"

"Make sense," gumam Melati.

"Come on, Mel. Nggak usah bahas Sara lagi. Kita fokus pada kita berdua sekarang," bujuk Iman memersuasi.

SUGARBABYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang