9. The Contract

5.4K 116 6
                                    

"Bagaimana sekolahmu, Nu?"

Wisnu meletakkan ransel ke atas meja, ia lantas menoleh dan memandang Melati curiga. "Mereka udah nggak pernah telvon lagi, Mbak," terangnya. "Mbak melakukan apa sampai berhasil membungkam para debt collector itu?"

"Mbak -" Melati berdeham. Mana mungkin ia menjelaskan pada Wisnu tentang apa yang sudah ia lakukan. "Mbak bayar cicilannya," dalihnya.

"Setiap bulan Mbak rajin bayar cicilannya, tapi mereka tetap saja menerorku," sergah Wisnu. "Memangnya Mbak bayar berapa?"

"Sudahlah, Nu." Melati mengelak. "Jangan pikirkan soal utang bapak lagi, pikirkan saja sekolahmu. Kamu harus janji sama Mbak, kalau kamu bisa lulus dengan nilai memuaskan. Selain itu - besar harapan Mbak kamu bisa diterima di PTN."

Wisnu menghela napas.

"Uang kuliah dari mana, Mbak ...?" sahut Wisnu. "Meski Universitas Negeri, uang gedungnya juga butuh banyak. Aku enggan membebani Mbak Melati. Lebih baik aku cari kerja buat bantu melunasi utang bapak."

Melati menggeleng. "Mbak sudah bilang, to, jangan pikirkan yang lain kecuali pendidikanmu. Paham?"

"Ya, tapi ... Mbak, dapat uang dar-"

"Sudahlah, Nu!" sela Melati. "Kamu harusnya bersyukur, Mbak dapat rezeki buat bayar-" Kalimatnya mendadak terputus karena ponsel yang berdering. Ia buru-buru meraih gawai, netranya membeliak ketika membaca nama yang tertera. Iman!

"Ya, halo?" angkat Melati.

"Kita butuh ketemu, sekarang."

***

"Jadi kita adalah teman sekolah yang tidak sengaja bertemu lagi. Dari pertemuan itu, kita makin dekat karena kamu gigih mengejarku." Iman menatap Melati serius. Ia menunjukkan tab-nya yang dipenuhi oleh skenario asmara palsu antara dirinya dan Melati.

Melati mendengkus. "Aku? Aku yang mengejarmu?"

"Iya," jawab Iman mantap. "Kamu baca di sini, kamu dari dulu sudah naksir aku. Cintamu belum usai karena aku keburu lulus."

Melati kembali mendengkus.

Mereka berdua duduk satu meja di sebuah kafe kopi tengah kota. Iman bilang dia perlu mem-briefing Melati sebelum membawanya berkenalan dengan Bimo dan Farah.

Ketimbang membaca naskah picisan yang Iman rangkai, Melati lebih tertarik menelisik setiap sudut ruang kafe. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung bernuansa elegan, dinding berlapis kayu gelap, serta lantai keramik bermotif abstrak indah. Belum lagi aroma biji kopi dari grinder makin menciptakan perasaan tenang dan nyaman. Entah sudah berapa lama Melati tidak pernah bersantai di kafe. Well, dia memang sering keluar masuk restoran atau kafe dengan klien. Tetapi, Melati dalam kondisi bekerja hingga tak mampu menikmati ambience di sekelilingnya. Sebagai pacar sewaan, dia diwajibkan menyenangkan hati si klien, dan that's not an easy job.

"Mel? Kamu denger aku nggak?" sergah Iman.

"Dengar," sahut Melati acuh tak acuh.

"Terus kenapa nggak ada komentar atau feedback, sih? Mukamu bahkan kurang excited, lho." Iman berkecimus.

"Aku harus excited karena memainkan peran sebagai wanita agresif yang ngejar-ngejar kamu? Dih!" decih Melati. "Kenapa nggak pertahankan keorisinilan kisah asli kita aja? Kamu yang naksir aku semasa sekolah dan kita dipertemukan lagi secara nggak sengaja. Gitu, kan, enak."

Iman membuang muka. "Aku udah bayar lima ratus juta, masa uang segitu aku harus dapet peran sadboy?" sanggahnya. "Kamu nurut aja, mau dapat duit, nggak?"

SUGARBABYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang