8. PASIFIK ATLANTIK

397 48 18
                                    


Disini lah Atlantik sekarang, berada di tempat yang menjadi tujuan utamanya. Setelah menurunkan cagak motornya Atlantik mendekati sebuah pemakaman yang mulai di tumbuhi rumput-rumput liar.

Berjongkok meletakkan bunga di atas tanah pemakanan itu lantas tangan Atlantik bergerak mengusap batu nisan yang terukir nama, Diana.

"Ma.." Panggilan itu yang biasa ia sebut 'Mama'. Atlantik mengucapkannya dengan perasaan rindu yang cukup lama ia tutupi.

"Atla gak peduli, Ma, sebesar apa Papa membenci Mama, masa lalu Mama, perbuatan Mama, kesalahan Mama di masa lalu. Karena yang Atlantik tau, selama itu Mama, orang yang berjasa melahirkan Atlantik dan Pasifik, gak pantas untuk di benci."

Atlantik mencium batu nisannya seolah membayangkan kalau itu adalah dahi Mamanya.

"Doain Atla yaa, Ma. Biar jadi anak yang bisa bertahan menghadapi keegoisan Papa." Atlantik tersenyum hambar. Senyuman yang terlibat perasaan di dalamnya.

Atlantik beranjak menatap makam Mamanya sekali lagi. "Atla pergi dulu."

***


"Makannya pelan-pelan." Pasifik di buat terbodoh dengan cara makan Benua yang mirip seperti buaya di lempari daging babi.

Mereka singgah di warung pinggir jalan, demi mengikuti keinginan sahabatnya Pasifik rela makan di pinggir jalan yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan.

"Cipik gamau makan? Masa liatin Nua doang, sih."

"Gapapa gue liatin doang kan lo yang bayar." Saat itu juga Benua berhenti menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

Mati, Benua tidak punya uang!

Pelan-pelan Benua menoleh ke samping menatap Pasifik yang acuh tidak acuh memainkan ponsel lelaki itu tanpa memikirkan kekhawatirannya yang bingung ingin membayar nasi goreng itu memakai apa.

Pasifik yang menyadari Benua tengah menatapnya menarik senyuman kecil di sudut bibirnya.

Oh god, rasanya ia ingin ketawa terpingkal-pingkal melihat raut Benua kali ini. Mata gadis itu berkaca-kaca dengan garis bibir bengkok ke bawah.

"Cipik.. Benua gak punya duit," adu Benua sebisa mungkin menahan air matanya. Bagaimana ia bisa lupa kalau uang jajannya telah habis di sekolah tadi?

Pasifik memasang raut berpura-pura kaget. "Terus bayar ini gimana?" Pasifik menunjuk piring nasi goreng Benua yang isinya hampir tinggal setengah.

"Hiks." Benua tahu-tahu sudah terisak. Sumpah, ia benar-benar panik sekarang. Malu rasanya kalau ia meminta Pasifik yang membayarkan makanannya. Sementara laki-laki itu saja tidak makan.

Kaget melihat Benua yang menangis, Pasifik buru-buru menepuk pucuk kepala gadis itu 2 kali.

"Gue becanda, Nua. Habisin aja nanti gue yang bayar." Tuh kan!! Benua malu.

"Tapi Benua gak enak kalo Cipik yang-"

"Yang bilang lo enak siapa? Emang lo makanan?" Napsu Benua pada nasi gorengnya seketika menghilang di gantikan napsu ingin menggetok kepala Pasifik menggunakan sendok di tangannya.

Pasifik mengambil alih piring nasi gorengnya dari hadapan Benua. "Hari makin sore cepetan makan," ucap Pasifik mengarahkan 1 sendok berisi nasi goreng dari tangannya ke bibir Benua.

Dengan senang hati Benua membuka mulutnya menerima suapan dari Pasifik. Kehangatan itu pun menjadi tontonan iri bagi pengunjung-pengunjung lain. Apalagi di antara mereka keberadaan Pasifik bak berlian yang berada di tengah tumpukan jerami.

PASIFIK ATLANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang