jangan pelit vote ya
Tatapan kasihan sahabat-sahabatnya, itu yang ia ingat begitu keluar dari ruang rawat Pasifik. Sudah pasti mereka mendengar ucapan Pasifik oleh sebab itu mereka menatapnya dengan iba. Bahkan bukan hanya sahabat-sahabatnya. Benua sendiri merasa kasihan pada dirinya yang mungkin sebentar lagi akan di anggap tiada oleh sahabatnya Pasifik.
Ketakutannya mungkin bukan rasa sepintas begitu saja melainkan akan menjadi kenyatan. Di masa depan nanti kemungkinan besar itu ada kalau Pasifik akan pergi dari hidupnya. Namun, Atlantik..
"Cukup melamunnya?" Atlantik bersuara di sampingnya. Dari 20 menit yang lalu lelaki itu menemaninya duduk berdiam diri di taman rumah sakit. Menemaninya yang tengah terluka dengan ucapan Pasifik barusan.
"Nua." Atlantik menggapai tangan Benua. "Antik minta maaf atas nama Pasifik," ucap Atlantik menatap Benua dengan guratan merasa bersalah. Bukannya lega Benua semakin merasa terpuruk dengan tatapan yang Atlantik berikan.
Benua melepas tangannya dari genggaman Atlantik. "Disini Nua yang salah Antik. Bukan Pasifik." Benua menatap ke bawah tepatnya rumput-rumput hijau yang diijak olehnya.
"Seperti rumput yang terus tumbuh tanpa di pupuk. Sama seperti keegoisanku yang tumbuh tanpa sebab dan muncul saat aku merasa Pasifik adalah milikku. Tanpa cinta keegoisan itu tumbuh." Benua sadar akan hal itu. Tidak semestinya ia cemburu dan marah dengan calon istri sahabatnya itu. Bagaimana pun ia hanya sebatas sahabat.
Kini, Benua merasa ia mulai menjadi perempuan serakah dan tidak tau diri akan posisinya. Ia tidak mencintai Pasifik lantas untuk apa ia cemburu? Hanya karena ia teman lama lelaki itu? Tapi posisi itu tidak ada harganya di bandingkan dengan Naina yang mungkin akan menjadi istri Pasifik di masa depan nanti.
Atlantik terdiam di tempat duduknya. Ucapan Benua barusan cukup mengejutkan untuknya. "Gue pikir selama ini... lo cinta sama Pasifik."
Deg
Benua menoleh menatapnya tampak terkejut. Apa yang barusan Atlantik ucapkan?! Mana mungkin ia mencintai sahabatnya sendiri. "Itu mustahil," sambar Benua menekankan.
"Gaada yang mustahil. Isi kepala mungkin masih bisa dikendalikan tapi hati punya cerita yang berbeda." Atlantik memaksa Benua menatap matanya ingin mencari kebenaran dari mata teduh itu.
"Lo serius gak punya perasaan apapun sama Pasifik? Lo.. yakin gak cinta sama Pasifik?" Benua berdiri dari tempat duduknya menatap Atlantik dengan kesal.
"Dari awal Nua udah bilang kalau Nua gak punya perasaan apapun sama Pasifik! Aku pikir kamu ngerti Antik!" seru Benua.
Atlantik tetap tenang di posisinya tidak sekali pun terusik dengan suara Benua. Baru kali ini ada yang berani berbicara dengan nada tinggi kepadanya dan Benua menjadi yang pertama dan satu-satunya yang bisa.
Atlantik tersenyum. "Jangan marah-marah. Liat pipi Nua udah merah kaya semangka," selorohnya mencairkan sesuatu yang sempat menegang di antara Benua dan dirinya.
"Sini duduk." Benua merotasikan bola matanya tak hayal masih bertingkah lucu dengan mengerucutkan bibirnya ke bawah. Ia kesal sebab Atlantik tadi membuatnya marah.
"Jangan gitu mukanya jadi jelek tau." Benua melirik kesal Atlantik. Lelaki itu sangat suka menggodanya.
"Ya terus mau gimana? Gini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PASIFIK ATLANTIK
Teen FictionPasifik itu, Atlantik itu, Satu-satu manusia yang bisa mendeskripsikannya adalah Benua. Ini kisah sederhana. Kisahnya Pasifik, kisahnya Atlantik, sekaligus Benua. Gadis periang nan lucu dan gemesin yang selalu ada bersama mereka. "Benua itu peli...