"Kita ke rumah Benua dulu, nih?" tanya Zoya memastikan.
"Pake nanya. Perjanjian awal kita kan cari Nua dulu ke rumahnya setelah itu ke rumah Sifik sama Atla," kata Dendi agak kesal.
"Yahh lo mah marah mulu kaya kambing," ledek Zoya. Dendi merasa kupingnya memanas barangkali emosi di katain kaya kambing.
"Urus tuh Zi calon bini lo!"
"Aamiin.." Zoya menatap tajam Zio yang mengaminkan ucapan Dendi.
Tok tok
Dendi mengetuk pintu rumah Benua yang letaknya di bagian belakang mansion. Mereka sudah cukup hafal letaknya.
"Assalamualaikum, ada manusia di dalam?" Zio menampar bibir Dendi.
"Gak sopan banget sih lo Babi!"
"Tadi gue di katain kambing sekarang Babi. Suka-suka kalian berdua kasih gue nama!"
"Ya lo bego. Masa ngetuk pintu rumah orang nanyanya, 'ada manusia di dalem'?" Zoya memeletkan bibirnya meledek cara bicara Dendi.
"Kayanya rumah Nua kosong, deh." Zio mengintip dari jendela teras rumah sederhananya Benua.
"Masa, sih? Ibunya juga gak ada?" Zio menggeleng membuat Zoya berpikir. Lantas dimana Benua?
"Mungkin Ibunya masih kerja tapi Nua juga gak ada. Terus dimana sahabat lo, Ya?" tanya Dendi.
"Bego. Kalo gue tau ngapain gue ikut kalian cari Benua!"
"Yaudah kita ke rumahnya Sifik dulu." Zio menyarankan. Baru saja mereka berbalik membelakangi pintu rumah Benua, Ririn, Ibunya Benua, berlari dengan berdesakan mendekat ke tempat mereka bertiga.
"NAK!" Zio, Zoya serta Dendi kompak merasa aneh.
"Tan, Tante kenapa? Kok kaya panik gitu?" tanya Zoya. Ririn menunjuk ke arah mansion majikannya.
"Sahabat kalian-" kata Ririn terpotong.
"Siapa, Tan? Nua?" tanya Dendi.
"Bu..bukan Putriku tapi Sifik. Dia pingsan di kamarnya!" Zoya, Zio, serta Dendi mereka terhenyak dengan kaget.
"Sifik pingsan?!" seru Zoya matanya mulai berkaca-kaca. Zio memperhatikan reaksi perempuan itu dengan seksama.
"Kenapa bisa?" tanya Zio.
"Di-dia.. di pukuli Ayahnya."
DEG
Mereka bertiga berdiri tak bergeming layaknya patung.
***
Sisa air mata masih membekas di pipinya. Tatapannya terarah pada pemilik punggung lebar yang saat ini berada di depan matanya. Laki-laki di hadapannya yang tengah mengendarai motor besar milik lelaki itu dengan ia mengisi jok bagian belakang motor.
"Makasi," cicit Naina menunduk saat tatapan tajam laki-laki itu memandangnya dari kaca spion.
"Gak perlu. Gue cuma kasian sama cewe menyedihkan kaya lo," derit sarkas Atlantik. Naina tersenyum. Sekarang ia tidak sakit hati saat Atlantik merendahkannya seperti di malam pertama kali mereka bertemu dan kali ini. Telinga dan hatinya sudah beradaptasi dengan kesarkasan Atlantik.
"Sebentar lagi mau hujan," tutur Naina mendongak ke atas menatap langit yang mulai menghitam. Atlantik enggan menanggapi.
"Raka suka hujan?" tanya Naina dengan suaranya yang lembut. Menatap mata tajam Atlantik dari kaca spion motor.
"Gak." Naina membuka mulutnya ingin bertanya lagi tetapi Atlantik duluan bicara.
"Jangan panggil gue Raka. Perlu berapa kali gue ingatan sama lo," tukasnya. Naina menghela napas panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PASIFIK ATLANTIK
Teen FictionPasifik itu, Atlantik itu, Satu-satu manusia yang bisa mendeskripsikannya adalah Benua. Ini kisah sederhana. Kisahnya Pasifik, kisahnya Atlantik, sekaligus Benua. Gadis periang nan lucu dan gemesin yang selalu ada bersama mereka. "Benua itu peli...