Pintu yang di dobrak kasar serta suara bass milik Pasifik yang menyerukan nama Papanya mengagetkan seisi rumah dari aktivitas mereka masing-masing.Ririn, Ibu Benua yang juga ada disana menatap keheranan Pasifik. Urat leher lelaki itu menegang sempurna. Lantas menendangi vas kaca di dinding sudut ruangan hingga pecah berserakan di lantai.
Semua orang yang menyaksikan kemarahan Pasifik membekap mulut mereka antara takut dan terkejut.
"Dimana Papa?!" bentak Pasifik pada Mika yang menggeleng ketakutan. Mika menarik Ririn menyodorkan perempuan itu untuk menjawab pertanyaan Pasifik.
"Tuan belum pulang."
"AKU DISINI!" Seruan itu menyambar jawaban Ririn pada Pasifik. Semua orang menatap ke arah pintu, dimana Yugo datang bersama Benua di sampingnya.
Ririn menatap Benua penuh tanda tanya. Mengapa putrinya ada di luar kawasan sekolah padahal jam pelajaran masih belum selesai?
Herannya lagi, Benua datang bersama majikannya yang notaben sangat membenci putrinya itu.
"Apa lagi sekarang? Mau memfitnahku lagi? Atas kesalahan yang tidak aku lakukan?" Yugo memandang Pasifik dengan tatapan santai.
"Kita perlu bicara!" derit Pasifik dengan tajam. Tidak bisa mentoleransi perbuatan keji Papanya lagi.
"Kamu mencoba memerintahku di rumahku sendiri?"
"INI JUGA RUMAHKU!" bentak Pasifik mutlak menunjuk lantai di bawah kakinya.
"Aku katakan sekali lagi, Pa! Kita perlu bicara."
"Bicarakan apa yang ingin kamu bahas disini," tuntut Yugo melirik Ririn yang berdiri di belakang putranya.
Benua tidak lagi memerdulikan perdebatan itu. Kini, perasaan dan pikirannya sedang berperang menyiksanya.
Bahkan untuk mendongak membalas tatapan Ibunya Benua tidak mampu.
Air mata dan isakan yang sebisa mungkin Benua tahan agar Ibunya tidak mendengar suara tangisannya.
Ibu.. Benua hancur Bu..
Tolong selamatkan Benua dari masalah ini.. racau Benua dalam hati.
Sebelum semuanya terlambat Bu.. Tolong Benua.
Sungguh, baru pertama kali baginya merasakan sakit dari tangis yang berusaha untuk di tahan. Sangat menyesakkan.
Pasifik merapatkan gigitan rahangnya sampai rahang itu berkedip geram. "Jangan disini," tukas Pasifik membaca kelicikan Papanya.
Cih, padahal baru semalam Pasifik merasa iba dengan tatapan kecewa dari Papanya lantaran menuduh pria paruh baya itu tanpa bukti.
Tapi sekarang, Pasifik sadar kalau semua itu hanyalah akal-akallan pria licik yang tidak lain orangtua kandungnya sendiri.
Yugo berjalan ke ruang tamu, mendudukkan diri ke salah satu Sofa disana. Pria itu duduk dengan melipat kedua kakinya.
"Aku tahu kamu mau membicarakan tentang Benua." Mendengar namanya tersebut Benua lantas mendongak menatap Pasifik yang turut menatapnya kaget.
Pasifik terkejut lantaran melihat jejak air mata di pipi Benua. "Nua, lo na-"
"Nak, kenapa kamu nangis?!" Suara Pasifik di gantikan dan di sela oleh Ibu Benua sendiri.
Ririn menangkup wajah Putrinya, menatap lekat-lekat ke netra teduh milik Benua.
"Bilang sama Ibu siapa yang berani buat Benuanya Ibu nangis?" tuntut Ririn khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
PASIFIK ATLANTIK
Teen FictionPasifik itu, Atlantik itu, Satu-satu manusia yang bisa mendeskripsikannya adalah Benua. Ini kisah sederhana. Kisahnya Pasifik, kisahnya Atlantik, sekaligus Benua. Gadis periang nan lucu dan gemesin yang selalu ada bersama mereka. "Benua itu peli...