4. SUKA?

102 25 6
                                    

“Aku tidak mengerti. Mengapa aku bisa tiba-tiba jatuh cinta kepadamu? Ini sungguh membuatku tidak tenang.” — Vania Larissa.

4. SUKA?

Saat ini sudah pukul sembilan malam. Vania menghela nafas lega karena pekerjaan hari ini sudah selesai. Vania menghampiri Aina yang menjadi teman kerjanya itu. “Na, maaf ya tadi aku tiba-tiba suruh kamu buat layanin cowok itu,” ujarnya merasa bersalah.

Aina yang sedang membereskan isi tasnya itu menoleh. “Gak perlu minta maaf kali, Van. Lagian aku juga paham kenapa kamu gitu,”

Vania tersenyum dan mengangguk. “Makasih, Na. Aku pulang duluan ya!” ujarnya.

“Hati-hati, Van.” Aina dan Vania sempat melambaikan tangan sebelum akhirnya Vania keluar dari Caffee.

Vania menghembuskan nafasnya ke udara. Udara malam ini terasa menusuk kulitnya sampai ke tulang. Sudah belasan menit ia menunggu taksi, namun terasa sia-sia sampai saat ini.

Vania berjongkok dan membuka ponselnya. Sesaat sesudah itu tiba-tiba suara deru motor datang dan berhenti di hadapan Vania. Hal ini lantas membuat Vania bangkit dan memperhatikan pemilik motor itu yang masih tertutupi oleh helm.

“Baru pulang lo?”

“Kamu ... Siapa?”

Laki-laki itu membuka helm dan menyugar rambutnya yang sudah sedikit basah akibat keringat. “Pikun lo?”

“Oh, Kak Dafa? Tadi 'kan Kakak pakai helm. Jadi aku nggak terlalu kenal kali,”

“Terus lo ngapain masih disini? Jongkok-jongkok kayak minta dikasih uang,”

Vania melebarkan matanya. “Eh? Enak aja Kakak ngomong! Aku cuman pegel jadi aku jongkok!” Volume suaranya meninggi.

Dafa sedikit mendesis. Jalanan itu terbilang sepi yang membuat suara Vania menggelegar kemana-mana. “Lo bisa kontrol dikit gak suara lo? Mau nyaingin toa Masjid lo?”

Vania menutup mulutnya. “Oh ... Kegedean ya, Kak? Sorry ya,” ujarnya menahan malu.

“Kakak ngapain kesini?”

“Mau jemput Vania Larissa,”

Vania merasakan sesuatu berterbangan di perutnya. Gadis itu tiba-tiba merasakan waktu telah berhenti. Vania merasakan sesuatu yang berbeda dengan candaan yang dilontarkan Dafa.

“Uh, hidungnya terbang,” Dafa memecah lamunan Vania.

Vania menggeleng dan membuang jauh-jauh perasaan anehnya. Vania memasang wajah galaknya. “Apa sih, Kak? Gak jelas dari kemarin!” sentaknya.

Dafa terkekeh kecil menyadari perubahan raut wajah Vania. Laki-laki itu kembali memakai helm dan menyalakan mesin motornya. “Ayo naik,” ujarnya.

Vania kembali terhenyak. Apakah Dafa baru saja berbicara dengannya? Vania menoleh ke samping kanan dan kirinya. Vania memastikan bahwa Dafa memang benar-benar berbicara dengannya.

“Kenapa? Lo kira gue ngomong sama setan?”

Vania menatap Dafa. “Kakak beneran ngomong sama aku?”

GARIS WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang