28. IMPOSSIBLE

58 13 0
                                    

“Semesta pernah mengirim pelangiku di saat hujan reda. Kali ini pelangi itu sudah harus pergi. Hujan harus kembali membasahi muka bumi.”

28. IMPOSSIBLE

Vania turun dari motor dan memperhatikan rumah besar yang kini menjulang tinggi di hadapannya. Dafa mengajak dan memaksa Vania untuk mau bertemu Ibunya. Dafa ingin mencoba meluluhkan hati Sintia dan membatalkan rencana perjodohan konyol yang selama ini Sintia upayakan.

“Dafa,” panggil Vania saat mereka berjalan menuju pintu utama rumah Dafa. “Aku ragu,”

Dafa menoleh dan tersenyum, “Jangan ragu, Van. Kita coba dan berusaha dulu. Jangan asal menyimpulkan bahwa suatu hal itu mustahil,”

Vania mendengarnya. Penuturan Dafa terdengar cukup tulus ditelinganya. Jantungnya kini berdegup kencang saat pintu rumah Dafa terbuka lebar dan menampilkan seorang wanita paruh baya.

Sintia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, “Kenapa bawa anak ini lagi?”

Sintia masuk ke dalam rumahnya lalu pasangan itu ikut membuntuti. Baru saja datang, Vania sudah disambut dengan perkataan Sintia yang terlihat tidak suka akan keberadaannya.

Mereka hening selama beberapa saat. Setelahnya, Sintia menghapus jarak antara ia dan Vania membuat kedua kaki gadis itu bergetar. Vania menunduk dalam. Perutnya terasa mual dan panas dingin mulai menyerang tubuhnya.

“Masih berani pacaran sama anak saya?” Tatapan Sintia menajam pada Vania.

“Ma,” Dafa mencoba tidak emosi.

“Selain lancang, kamu juga membuat anak saya jadi pembangkang ternyata,”

Vania menelan salivanya. Vania merasakan genggaman tangan Dafa yang mengerat seolah-olah memberi tahunya agar lebih kuat menghadapi ini.

Dafa menghela nafas. “Lihat, Ma. Vania bikin ini buat Mama,” Dafa memberikan kotak makan yang berisi kue kering dengan berbagai animasi yang cukup menggemaskan.

Sintia menoleh dan tersenyum sarkasme. Sintia menerima kotak makan itu lalu menoleh pada Vania yang sekarang sudah berani menatap matanya. “Kamu bikin ini?”

Tanpa persiapan, Sintia melempar kotak makan itu hingga kue kering itu berserakan di lantai. Sintia tertawa besar setelahnya seperti kesetanan. Vania kembali dibuatnya terkejut.

“Tan ... Tante gak suka? Nanti Vania bikin—”

“Saya suka kalo kamu enyah dari mata saya,” Sintia memotong ucapan Vania. “Jauhi anak saya!” sentaknya.

Bagaimanapun, Dafa tetap manusia. Laki-laki itu akan marah jika orang yang ia sayangi diperlakukan seperti ini. Dafa menghalangi tubuh Vania dengan tubuh kekarnya. Dafa menatap kedua mata Sintia dengan sengit.

“Dafa sayang sama Vania,”

"Kapan kamu ngerti? Hubungan bukan tentang rasa sayang doang, Dafa. Mama sudah mendapatkan perempuan dari—”

“DAFA BILANG DAFA GAK MAU MAMA JODOHIN!” teriak Dafa disusul dengan petir yang menggelegar tiba-tiba di luar sana. Percikan air mulai turun satu persatu.

“Jangan membantah Mama!”

Raisya yang mendengar kegaduhan ini segera turun dari kamarnya. Raisya berlari dan menghampiri mereka bertiga dengan cemas. “Ini kenapa?” Raisya diserang kepanikan.

“Gak usah ikut campur,” Dafa menekan setiap katanya seolah benci pada Raisya. Vania menyadari itu. Namun ... Apa penyebab dari semua ini?

Sintia menarik lengan Vania dan menamparnya dengan kencang. “Saya bilang jauhi anak saya! Anak saya gak pantas bersanding dengan perempuan seperti kamu!”

Kejadian itu terlalu cepat terjadi hingga Dafa tak sempat untuk menahan Sintia. Vania memegangi pipinya yang terasa sakit namun tak sebanding dengan rasa sakit dihatinya.

“MAMA!” bentak Dafa yang tidak kuat lagi menahan emosinya.

“Apa salahnya Kak Dafa sih, Ma? Dia berhak buat bahagia bersama pilihan dia sendiri,” Raisya mencoba membela Dafa.

Sintia menunjuk wajah Raisya dengan mata yang menajam, “Jangan ikut campur!”

“Dan kamu,” Sintia menunjuk Vania. “Sekali lagi saya lihat kamu bersama anak saya. Saya seret kamu dan keluarga kamu sampai hancur dan gak tersisa!”

***

Vania membuka pintu rumahnya dengan air mata yang terus mengalir. Vania buru-buru menuju kamarnya membuat Valora dan Vineta merasa janggal dengan ini.

“Kenapa dia?” tanya Vineta kepada anaknya.

Valora langsung berdiri dan menyusul Vania yang tadi sempat membanting pintu kamarnya. Sepertinya keadaan Vania sedang tidak baik-baik saja. Atau mungkin ... Vania putus cinta?

“Van?” panggil Valora. “Ini Kakak, kamu lagi kenapa?” Valora mendekatkan telinganya pada pintu.

Tak ada sahutan dari dalam sana. Valora mencoba membuka pintu kamar Vania dan ternyata tidak Vania kunci. Valora masuk dan dikejutkan dengan Vania yang sedang menangis di sisi ranjang dengan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya.

“Vania?” Valora langsung khawatir dengan keadaan Vania. “Kenapa?”

Valora menghampiri Vania dan merengkuh Vania ke dalam pelukannya. Tubuh Vania bergetar dan tangisannya semakin kencang. Valora mengerti, namun ia tidak mengetahui alasan dibalik semua ini.

“Cup, cup, cup. Udah jangan nangis,” Valora berusaha tidak memaksa Vania untuk bercerita.

“Kak ...” Tangisan Vania masih kencang. “Sakit, Kak. Sakit ...” Vania memegang dadanya membuat Valora merasa kasihan.

“Mahesa nyakitin kamu? Biar Kakak nanti yang bikin dia bonyok, Van. Tapi jangan nangis kayak gini, nanti Mama ngomel-ngomel tau anaknya nangisin cowok,”

Vania menggeleng, “Bukan, Mahesa ...” Vania mengusap pangkal hidungnya.

“Terus siapa? Dafa?”

Pertanyaan Valora membuat tangis Vania yang tadi mereda malah mengencang kembali. Apakah benar ini kelakuan Dafa?

“Dafa apain kamu? Nanti Kakak datengin rumahnya,” Valora sudah bersiap-siap untuk menghajar siapapun yang berani menyakiti hati adiknya.

“Bukan Dafa, Kak ...”

“Loh, terus siapa?” Valora kembali bingung.

“Mamanya ...”

TO BE CONTINUE

GARIS WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang