11. TIDAK PEDULI?

93 22 0
                                    

Bisakah ku katakan kehilangan padahal memilikimu saja tidak pernah?

11. TIDAK PEDULI?

Sekolah Vania mengadakan libur selama sepekan ke depan karena sudah melakukan camping. Dalam sepekan itu, Vania hanya menghabiskan waktunya untuk bersama keluarga hangatnya dan berkerja di Caffe Rotella pada shift sore dan malam hari.

“Besok Kakak mau jemput aku?” tanya Vania setelah turun dari motor Dafa yang telah sampai di depan pagar rumah minimalis miliknya.

Dalam beberapa hari belakangan ini, Dafa memang selalu antusias untuk menjemput Vania. Bukan Vania yang meminta, namun laki-laki itu sendiri yang berinisiatif. Dan siapa yang tidak terbawa perasaan jika perlakuannya seperti ini?

“Mungkin setiap hari,” jawaban Dafa membuat Vania merasa orang paling beruntung di dunia ini. Entah apa yang gadis itu lakukan sehingga Dafa mau mengantar jemput di setiap harinya.

“Oke, deh. Makasih, Kak!” Vania berbalik badan dan hendak berjalan menuju pagar rumahnya.

“I love you,”

Vania menghentikan langkahnya, ia mendengar dengan jelas cowok itu berbicara. Vania memejamkan mata dan mengkepal kuat kedua tangannya. Vania menghela nafasnya lalu menengok ke belakang. “Ngomong apa tadi, Kak?” Vania berusaha berpura-pura tak mengetahui apapun.

“Nggak,” Dafa segera memakai helm full face-nya. Lelaki itu sudah tau pasti Vania mendengarnya dengan jelas. Perlahan, sudut bibirnya mulai terangkat dibalik helmnya.

“Sampai besok, Van,”

***

Tepuk riuh penonton di dalam aula saling bersahutan. Seorang laki-laki yang selalu menjadi idola semua siswi di sekolah ini naik ke atas panggung dengan gitar yang akan ia mainkan seiringan dengan lagu yang akan ia utarakan hari ini.

Satu persatu penampilan sudah berlalu. Dan kini giliran Mahesa yang akan mengisi acara yang di nanti-nantikan para murid di sekolah ini. Mahesa menghela nafasnya dan mempersiapkan untuk berbicara di depan pengeras suara.

“Saya akan membawakan lagu Orang Yang Sama dari Virgoun,” ujar Mahesa yang langsung disambut tepuk riuh penonton. “Namun sebelumnya, saya ingin meminta seseorang untuk menemani saya disini,”

“Wah, gila sih. Pasti beruntung banget yang dia ajak buat nemenin dia nyanyi,” Athena mengutarakan pendapatnya kepada Vania.

“Siapa ya kira-kira menurut kamu, Thea?” tanya Vania karena penasaran. Athena hanya mengedikkan bahunya dengan pandangan yang tak lepas dari Mahesa.

“Untuk Vania, Vania Larissa. Tolong naik ke atas panggung buat menemani Kakak disini,”

Vania mengernyitkan dahinya. Apakah benar baru saja ia mendengar Mahesa menyebutkan namanya? Mengapa ini begitu tiba-tiba? Ia menoleh kepada Athena yang sama terkejutnya.

“Gila! Cepet, Van! Cepet naik ke atas panggung! Lo gak boleh sia-siain kesempatan ini!” Athena terus mendorong Vania agar gadis itu mau naik ke atas panggung. Sambutan dari para siswa dan siswi menggema. Dengan ragu Vania menghampiri Mahesa untuk menemani Mahesa selama bernyanyi.

“Kakak disuruh OSIS, Van. Kakak gak tau lagi buat manggil siapa. Maaf kalo kamu ngerasa terpaksa. Tapi ini mendadak banget,” Mahesa berbisik kepada Vania. Gadis itu hanya mengangguk dan hanya akan mengikuti alur.

Mahesa mulai menyanyikan lagu Orang Yang Sama dengan lantunan suaranya yang indah. Penonton disana ikut terbawa perasaan dengan suaranya yang berhasil membuat hati mereka semua tenang. Dipertengahan lagu, Mahesa memberikan setangkai bunga mawar kepada Vania. Hanya sebagai formalitas yang ternyata sudah OSIS rancang untuknya.

Vania terkejut dengan perlakuan Mahesa. Sebelumnya Mahesa tidak berbicara akan ada sesuatu seperti ini. Tak bohong, Vania kembali terbawa perasaan dengan Mahesa. Ia menerima setangkai bunga mawar itu lalu suara teriakan penonton mulai bersahutan.

“Anjir! Kalah telak lo, Bos!” Laskar geleng-geleng kepala.

“Kacau! Kacau!” Aldi mengompori.

Dafa merasakan hatinya yang begitu memanas. Dafa merasa perlakuan dan usahanya selama ini tak dihargai oleh Vania. Gadis itu benar-benar membuatnya memendam amarah yang begitu besar.

“Daf, jangan emosi.” Dazel memperingati Dafa sebelum laki-laki itu larut dalam amarahnya.

Dafa memperhatikan Vania yang tersenyum lebar dengan perlakuan Mahesa. Kedua tangannya perlahan mengepal dengan dada yang kembali merasakan sesak. Dafa merasa dikhianati dan tidak dihargai. Mengapa gadis itu mudah sekali menyakitinya?

***

Seperti biasa malam ini Vania menunggu jemputan dari Dafa walaupun lelaki itu tadi siang sifatnya benar-benar berubah sembilan puluh derajat. Ia sama sekali tidak tahu apa penyebabnya apa. Ah, mungkin Dafa hanya sedang memiliki masalah pribadi saja.

Vania mendesah kecil, sudah satu jam ia menunggu jemputan yang tak kunjung datang menghampirinya. Vania melihat arloji yang berada di pergelangan tangannya, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Pada hari sebelumnya biasanya Dafa selalu tepat waktu untuk menjemputnya. Bahkan terkadang, Dafa yang menunggu Vania selesai akan pekerjaannya. Tapi sekarang, ia merasa Dafa lupa untuk menjemputnya.

Vania mengeluarkan benda pipih bermerk Apple itu dari tas kecilnya. Berniat ingin mengirim pesan pada Dafa walaupun pesan tadi siang belum Dafa balas sampai saat ini.

Vania : Kak, kakak dimana? Aku udah nunggu satu jam lebih. Kakak mau jemput aku kan?

Vania : Please, bales Kak.

Vania mendongak menatap langit. Bintang dan bulan yang bersinar indah kini tertutup oleh awan hitam yang mungkin akan menurunkan air pada pribuminya.

Vania melihat handphonenya saat notifikasi muncul. Ia dengan sigap membaca pesan yang masuk dari Dafa.

Kak Dafa : Gue sibuk, sorry.

Vania : Tapi, aku udah nunggu satu jam bahkan lebih. Aku takut kak, disini aku sendiri. Terus kayaknya bakalan hujan, aku mohon jemput aku buat kali ini aja, ya?

Kak Dafa : Nggak. Gue sibuk.

Vania : Aku mohon, kak. Kakak gak kasian sama aku? Aku sendirian disini, udah malem
juga.

Vania : Kak? Please, ini untuk yang terakhir aku janji, kok. Bisa ya? Aku mohon.

Kak Dafa : Lo buta?

Tetesan demi tetesan mulai membasahi jalanan yang saat ini tak padat kendaraan. Entah mengapa, rasanya sakit ketika Dafa membalas pesannya seperti itu. Ia rela menunggu berjam-jam dan ternyata ia hanya menunggu jemputan angin.

Vania : Hujan, Kak..

Vania : Aku bener-bener takut, aku sendirian. Gak ada siapa-siapa disini. Aku takut terjadi sesuatu yang nggak-nggak.

Kak Dafa : Gue gak peduli.

Vania merasakan hujan yang mulai menderas secara tiba-tiba. Ia meletakkan tangannya pada kepalanya, ia berlari menuju halte yang jaraknya sedikit jauh dari sana.

Setelah sampai, ia memeluk dirinya sendiri yang sudah basah terguyur hujan. Ia menggigil kedinginan dan memejamkan matanya.

Tanpa sadar, pipinya mulai dibasahi dengan buliran kristal berwarna putih yang berasal dari pelupuk matanya. Vania sangat kecewa dengan Dafa, hatinya merasa sakit ketika Dafa seolah tidak peduli dengan dirinya. Vania merasa dipermainkan oleh Dafa.

Di tengah keheningan yang melanda dan hanya menyisakan suara hujan deras, sebuah jaket berwarna coklat tiba-tiba saja menempel di punggung gadis itu.

Vania dengan sigap menengok ke arahnya.

TO BE CONTINUE

GARIS WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang