47. BAYANGAN

53 11 0
                                    

"Dunia ini sudah abu abu dimataku. Sejak aku merelakanmu pergi, semua terasa monokrom."

47. BAYANGAN

Tidak terasa bagi Vania, besok adalah hari yang sangat penting untuknya. Hari dimana ia akan bertambah usia dan semakin beranjak dewasa untuk menghadapi kerasnya dunia ini.

Dulu Vania berangan-angan untuk merayakan Sweet Seventeen bersama sang pujaan hati. Namun ternyata semua tidak sesuai dengan harapan. Hubungan mereka telah usai sebelum hari ulang tahun Vania. Vania terpaksa memendam semua angan-angan itu di dalam benaknya. Semuanya tidak akan terjadi sesuai dengan keinginannya. Semesta mempunyai cara lain untuk membuatnya bahagia.

“Eh, besok ulang tahun Vania?” tanya Dazel. Seperti biasa mereka sedang berada di markas Elanggar. Mereka membahas semua hal bahkan hal yang tidak penting sekalipun.

”Iya, Zel. Bos, lo mau datang gak?” Laskar mengeluarkan sebuah undangan Birthday Party yang Vania dan Athena bagikan tadi di sekolah. Dafa yang sedang fokus menghadap layar laptop di depannya seketika teralihkan. Ia bangkit lalu meraih undangan itu yang Laskar simpan di meja.

Dafa langsung larut dalam pikirannya. Haruskah Dafa datang pada hari penting Vania? Dafa saja tidak di beri kertas undangan itu. Apakah Dafa seperti tidak tahu diri jika ia datang tanpa di undang? Banyak sekali yang ia pikirkan. Namun, hadiah untuk gadis itu sudah ia persiapkan dari hari-hari sebelumnya.

“Eh, bos! Gue lupa,” Aldi mengeluarkan secarik undangan dari sakunya. “Ini tadi dari Vania. Dia gak kasih secara langsung karena tadi dia gak ketemu lo,”

Dafa menerima undangan itu. Pertanyaan Dafa sudah terjawabkan. Ternyata Vania mengundangnya ke acara pentingnya walaupun Dafa yakin Vania pasti merasa terluka jika mereka harus bertemu lagi. Dafa tersenyum dan mengangguk yakin. Acara itu di laksanakan pada malam hari. Persis seperti apa yang pernah Vania bicarakan padanya. Vania sangat ingin merayakan ulang tahunnya pada malam hari dengan sangat meriah di taman gedung Golden Eight.

***

Vania berjalan di sekitaran taman gedung Golden Eight dengan senyum yang mengembang. Taman itu sudah di dekor dengan indah, dengan nuansa putih dan gold serta gemerlap lampu yang membuat takjub.


Vania mengadahkan kepalanya menatap langit biru yang terlihat cerah dan indah. Bayangan kenangan masalalu tiba-tiba berputar kembali. Vania seketika melunturkan senyumannya ketika menyadari satu hal.

Perasaannya ketika menatap langit seketika menjadi berbeda. Vania menjadi mengerti bahwa hal indah itu sudah menjadi milik orang lain. Angin tiba-tiba berhembus menyapu semua bayangan yang muncul itu.

“Aku sebenarnya gak sebahagia itu,” Vania terus menatap langit dengan kedua sudut mata yang mulai menggenang. “Aku selalu sakit ketika inget kamu,”

“Kamu apa kabar? Kamu pasti baik-baik aja kan tanpa ada aku?” Vania meluncurkan air matanya ketika bayangan sosok Dafa kembali muncul di langit yang cerah itu.

“Aku selalu kangen kamu. Perasaan aku gak pernah berubah. Masih sama,”

“Jangan pernah sakitin perasaan dia ya? Kebahagiaan kamu, kebahagiaan aku juga. Jadi ...” Nafas Vania tertahan.

“Berbahagialah, agar hancurku tidak sia sia,”

***

Ini adalah saatnya. Malam sudah tiba yang dimana ulang tahun Vania akan segera di mulai dengan meriah. Para teman-teman yang sudah Vania undang perlahan mulai berdatangan.

Senyum Vania mengembang. Melihat dirinya di dalam cermin membuatnya sangat senang. Vania merasa lebih cantik malam ini. Dress yang ia kenakan dan polesan make-up membuatnya lebih anggun dan menarik perhatian.

“Lo cantik banget Van malam ini,” puji Athena dengan mata berbinar menatap sahabatnya.

“Kamu bisa aja, tapi penampilan aku gak malu-maluin kan?” tanya Vania sambil memperhatikan lekuk tubuhnya di cermin.

“Nggak lah, Van! Lo cantik banget,” Athena mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya hingga menjadi peace.

“Makasih, Thea.” Vania kembali tersenyum dan Athena hanya mengangguk. “Eum ... Thea ...” panggilnya ragu.

“Apa? Ada yang perlu gue bantu lagi?”

“Dafa bakalan datang?” tanya Vania membuat Athena menghentikan aktivitasnya dan menoleh pada Vania yang terlihat sedih.

“Lo gimana sih?” Respon Athena membuat Vania terkejut. “Ya pasti datang dong! Gak mungkin dia gak datang ke acara penting lo. Dia kan masih gamon sama lo!”

Penuturan Athena membuat Vania menghela nafas lega. “Apa sih, Thea!”

"Percaya sama gue, Van. Dia bakalan dateng,” Athena mencoba meyakinkan walaupun jauh di lubuk hatinya Athena sudah merasa ragu.

“Makasih, Thea.”

“Udah, yuk. Kita keluar, bentar lagi jam delapan. Acara mau mulai,” ajak Athena sambil melihat arlojinya.

“Iya, Thea. Aku juga mau nyapa orang yang udah mau dateng ke acara aku,” Mereka berdua berjalan bersama menuju taman gedung Golden Eight dengan perasaan yang bahagia. Sudah banyak orang-orang yang berlalu lalang dan berselfie bersama. Mereka tidak mau melewatkan dekorasi yang indah itu dengan berselfie.

Vania dan Athena berjalan menghampiri Dazel, Laskar dan Aldi yang baru saja datang. Ketiga laki-laki itu terlihat berbeda. Mereka sangat rapi dengan balutan Toxedo. Berbeda dengan penampilan mereka saat memakai seragam. Sangat berantakan sepeti anak badungan.

“Cie neng Vania tambah umur!” goda Aldi sambil mengedipkan mata kirinya.

Vania hanya tersenyum. Sebenarnya, Vania saat ini sedang mencari satu laki-laki yang selalu bersama mereka. Namun tidak kunjung muncul juga.

“Selamat, Van. Panjang umur ya,” Dazel memberikan doa yang diangguki Vania.

“Makasih, Kak.” kata Vania lalu menoleh pada Athena yang sudah terlihat tak merasa nyaman karena keberadaan Dazel.

“Semoga cepat balikan ya sama Dafa!” Aldi berceletuk membuat mereka semua menoleh tajam ke arahnya. Melihat perubahan raut wajah Vania membuat teman-temannya merasa bersalah.

”Jangan didengerin, Van. Anggap aja monyet nyasar kesini,” ujar Dazel yang di angguki Laskar. Aldi hanya cengengesan tak jelas.

“Ngomong-ngomong ... Dafa dimana?” Dengan perasaan ragu dan malu Vania bertanya.

“Gak tau, Van. Dia katanya mau sama Antony, tapi Antony gak bisa datang. Antony udah bilang sama lo kan?” Laskar menanggapi pertanyaan Vania dan menatap layar ponselnya. “Sosmednya gak aktif terus, Van.”

“Bentar lagi dia bakalan datang,” Dazel mencoba meyakinkan Vania.

Hati kecil Vania merasa ragu. Firasatnya sudah tidak enak dengan ini. Tiba-tiba saja tubuhnya seketika menjadi lemas. Entah mengapa hati Vania terasa sesak seakan ada sesuatu yang tidak mengenakan akan terjadi.

TO BE CONTINUE

GARIS WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang