“Berharap lebih kepada manusia adalah seni sederhana untuk menderita.” — Vania Larissa.
13. KEPERGOK
Vania menghentikan langkahnya ketika melihat seseorang di parkiran sekolah. Laki-laki itu tampak membuka helm dan turun dari motornya. Vania menggenggam erat ujung tas ranselnya ketika mereka tak sengaja bertukar pandang sebelum Dafa memutusnya terlebih dulu.
Dafa berbalik badan membelakangi Vania yang berada jauh di belakangnya. Dafa benar-benar merasa malu karena telah berlebihan dengan Vania. Dafa belum bisa berhadapan langsung dengan Vania.
Vania merasakan sesak di dadanya. Vania tak mengerti dengan sikap Dafa yang tiba-tiba berubah seperti ini. Ia sama sekali tak tau apa kesalahannya hingga membuat semuanya renggang. Semuanya dengan jelas berubah dengan sekejap.
Memang benar ya? Berharap lebih kepada manusia adalah seni sederhana untuk menderita itu benar adanya.
***
Bel istirahat kini sudah berbunyi. Dengan langkah yang cepat Dafa berlari menuju perpustakaan. Laki-laki itu saat ini hanya ingin meredam emosinya yang beberapa saat tadi berapi-api karena ulah dari temannya sendiri. Mereka bersikeras untuk membuat Dafa panas dengan menyangkut-pautkan Vania dan Mahesa.
“Kak Dafa,”
Dafa menghentikan aktivitasnya yang sedang membolak-balikkan halaman buku. Tak lama Dafa kembali anteng tanpa memperdulikan Vania yang kini sudah berada di hadapannya.
“Kak Dafa,” panggil Vania.
Dafa tetap tenang namun berbeda dengan kedua kakinya yang terus bergetar di bawah meja sana. Dafa ingin meluruskan semuanya nanti saat ia sudah tak lagi merasa malu.
“Kak Dafa, lagi ngapain?” Vania meringis kala menyadari pertanyaan yang ia lontarkan sangat bodoh. Ia berdehem untuk mengurangi rasa groginya.
“Kak Dafa. Aku boleh nanya?”
Dafa menggertakkan gigi gerahamnya mencoba sekuat mungkin untuk tidak menjawab gadis itu. Namun kenyataannya ia gagal. Semua ini memang salah Dafa. Dafa sebenarnya tak pantas mendiamkan Vania.
“Apa?”
“Kok aku ngerasa Kakak berubah ya? Terus, Kakak waktu itu sibuk apa Kak? Sampe tega banget—”
“Gue bukan siapa-siapa lo. Jadi, lo ga berhak untuk tau semua tentang hidup gue. Dan, tadi lo ngerasa gue berubah? Lo salah besar. Gue gak berubah, gue dari dulu emang kayak gini. Ngerti? Apa mau gue perjelas lagi?”
Penjelasan dari Dafa begitu menyakitkan bagi Vania. Seketika Vania membisu. Ia bisa merasakan kedua matanya perih dan terasa panas. Vania merasa orang paling bodoh. Mengapa bisa ia berpikir Dafa menyukainya? Sepertinya Vania sedang berhalusinasi.
“Ohh, oke Kak. Aku ngerti kok, gak perlu Kakak perjelas lagi,” Vania tersenyum pahit. Sekuat mungkin ia menahan sesuatu yang sebentar lagi akan menghujani pipinya.
“Kakak udah makan?”
Dafa kira gadis itu akan berlari dan pergi meninggalkannya. Namun ternyata gadis itu masih tetap diam. Duduk dengan segala rasa sakit dan sesak di dadanya.
“Apa urusannya sama lo?” Lagi-lagi Dafa melontarkan pernyataan yang menusuk.
“Mau aku bawain gak? Kakak mau apa? Cilok? Roti? Nasi uduk? Atau gor—”
“Pergi! Jangan ganggu gue!” Dafa berdiri dan membanting buku yang ia genggam dengan kencang pada meja. Perlakuannya sangat buruk namun Vania tidak terkejut sama sekali.
Vania ikut berdiri, “Kakak gak suka itu semua? Aku tebak ya! Kakak pasti suka sama bakso, 'kan? Kan?” Vania menebak-nebak.
“Lo ini sebenarnya kenapa? Gak cukup sama perlakuan gue ke lo tadi? Atau—”
“KAKAK YANG KENAPA?! KAKAK BERUBAH! KAKAK JADI JAHAT! KAKAK JADI GAK PEDULI SAMA AKU! AKU GAK NGERTI!”
“KARENA GUE GAK SUKA LIHAT LO SAMA MAHESA!”
Runtuh sudah pertahanannya. Ia tidak bisa berlama-lama menahan sesuatu yang ia sembunyikan. Perkataannya kini membuat Vania bungkam. Mulutnya seperti terkunci rapat. Perlahan tapi pasti, amarahnya yang semula bergemuruh kini lenyap kala Vania berhasil meluncurkan air matanya.
“Tapi ... Tapi kenapa?” tanya Vania gelagapan karena ia mulai terisak saat ini.
“Vania,” Dafa mengangkat kepala Vania dan perlahan mengusap air mata gadis itu dengan jemarinya dengan penuh kelembutan.
“Kak ...”
“Kakak minta maaf ya? Kakak tau, Kakak salah udah jahat sama kamu. Kakak ke makan emosi, Kakak egois dan gak bisa ngertiin kamu,”
Vania gugup bertatapan dengan mata laki-laki itu. Bagaimana bisa Dafa menjadi selembut ini? Detak jantungnya semakin kencang disetiap detiknya. Vania dapat merasakan hembuskan nafas hangat Dafa yang membuat darahnya berdesir.
“EKHEM!”
Tiga orang lelaki berbadan tegap itu menghampirinya dengan ricuh. Mereka berlagak terkejut dan berpura-pura batuk melihat dua orang yang berada di perpustakaan itu.
“ASTAGFIRULLAH HALADZIM DAFA CEPET LO ISTIGHFAR! UNTUNG KITA DATENG, KALO GAK PASTI LO PADA ANEH-ANEH!” Aldi berteriak penuh drama.
Dafa melepaskan kepala Vania dengan sigap. Mereka berdua dikagetkan dengan kedatangan Elanggar dengan sejuta kehebohan ketika melihat mereka berdua.
“Kudet lo! Mana mungkin Dafa istighfar!” Aldi mendapatkan toyoran keras dari Laskar.
“Tunggu, gue masih gak percaya. KALIAN PASTI UDAH NGELAKUIN YANG ANEH-ANEH KAN HAAA?!” pekik Dazel membuat Dafa melayangkan tatapan mematikan padanya.
“Ternyata Dafa bisa khilaf juga, ya! Kapan nih bagi-bagi sembako buat syukuran?” kata Laskar.
“Ehh! SYUTTT!” Aldi meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.
“CIEEEEEE, BOS KITA UDAH BESARRRR!” teriak Aldi yang disambut tawa meriah dari kedua sahabatnya. Vania berhasil bersemu dibuatnya.
“Berisik,”
TO BE CONTINUE
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS WAKTU
JugendliteraturWARNING ⚠️ ADA BEBERAPA PART YANG DIREVISI. MAUPUN ALUR CERITA, NAMA TEMPAT, DAN NAMA TOKOH. HARAP MEMAKLUMI JIKA ADA KESALAHAN DAN HARAP MEMBACA ULANG! Dimulai dengan seorang gadis bermulut ember yang berani mengusik ketenangan seorang laki-laki ya...