5. MULAI TUMBUH

89 25 6
                                    

Batasi harapanmu karena dunia hanya perihal datang, pergi dan menghilang.

5. MULAI TUMBUH

“Thea,” Vania mencoba merangkai kata-kata yang terus ia pertanyakan di benaknya. "Kalo dipikiran kita suka muncul seseorang, itu artinya kenapa?”

Athena sejenak melepas pena yang ia gunakan untuk menulis saat ini. Athena tak sempat mengerjakan tugas yang diberikan guru minggu lalu. Alhasil Athena meminta contekan kepada Vania. “Itu artinya lo suka sama orang itu,” ujarnya.

“Tapi ...” Vania sedikit kebingungan. “Aku suka sama kak Mahesa tapi dia nggak terlalu suka muncul dipikiran aku. Kenapa yang ini beda ya?” Vania kembali mendapatkan tanda tanya.

Athena menyelidik memperhatikan Vania. “Gue kira lo lagi ngomongin Kak Mahesa. Ternyata bukan?” Athena terlihat menaikkan alisnya. “Siapa, Van? Lo suka sama orang lain? Mau gue comblangin?” tawarnya.

“Kalo itu ... Kamu gak perlu tau deh, Thea. Nanti mulut kamu ember,” ujar Vania tersenyum mengejek.

Athena membalas dengan senyuman paksa. Sedikit ingin memangsa manusia yang ada di sampingnya ini. “Lo mau gue pukul gak, Van?”

***

Vania menghentikan pergerakan kakinya. Tunggu ... Apa ia tidak salah melihat? Mahesa merangkul bahu seorang gadis yang berhasil mencetak poin basket? Apakah itu adalah kekasihnya yang sebenarnya?

“Oh ... Kak Mahesa ...” Vania mengangguk-anggukan kepalanya walaupun kini dadanya seperti tertikam benda tajam. Mungkin semesta sudah menunjukkan bahwa ia tak memperbolehkan untuk mempunyai perasaan lebih pada Mahesa.

“Untung belum terlalu jauh,” Mulut Vania berkata seperti itu, namun berbeda dengan kedua mata Vania yang kini berkaca-kaca. Vania sendiri tak mengerti, mengapa hanya dengan rasa suka ia bisa merasakan sakit dan kecemburuan?

Seseorang menepuk bahu Vania. “Kenapa lo?”

Vania menoleh lalu mendapati kembali laki-laki menyebalkan yang akhir-akhir ini selalu mengusik hidupnya. “Jangan ikut campur,”

“Lo nangis?” tanya Dafa karena melihat kedua mata Vania terlihat memerah dan berkaca-kaca.

Vania menghela nafasnya, “Kelilipan,”

“Kelilipan apa? Kelilipan meteor?”

“Meteor itu gede, mana muat dimata aku,”

“Terserah lo, Van. Terserah,” Dafa berjalan melewati gadis itu. Apa salahnya? Memang benar 'kan jawaban yang ia lontarkan? Memang manusia aneh sekaligus menyebalkan.

“Hai, cewek!” ujar Aldi membuat Vania menoleh. Gadis itu menatap Elanggar yang tiba-tiba saja menghampiri itu secara bergantian.

“Aku punya nama,” ujar Vania membuat ketiga cowok itu tertawa.

“Oke, siapa nama lo?” tanya Dazel namun Vania mengacuhkannya. Vania berjalan membuat ketiga manusia itu mengikutinya.

“Lo suka sama Dafa?” tanya Aldi mendesak Vania dengan pertanyaan. “Atau lo suka gue?”

Laskar berdecak, “Jijik, Al. Jijik! Mana mungkin cewek secantik ini suka sama lo,”

Dazel mendekati Vania, “Lo temen Thea 'kan?”

“Gak usah nanya kalo udah tau,”

“Kok lo berani labrak Dafa di depan semua orang? Kata gue sih, lo keren. Ya, gak?” Laskar bertepuk tangan diikuti temannya yang lain.

“Pergi kalian tiga curut jelek!”

****

Dafa menyusuri rak perpustakaan sekolah yang dipenuhi dengan buku-buku. Dafa belum menemukan buku yang ia cari sejak tadi. Dafa memilah dan memilih buku-buku disana lalu mengambilnya yang menghasilkan celah hingga Dafa bisa melihat apa yang terjadi di lorong sana.

Dafa memperhatikan seorang gadis yang tengah menghela nafasnya. Gadis itu menutup buku yang mungkin sudah ia baca. Vania menatap buku-buku disana lalu memikirkan sesuatu.

“Dari buku ini aku jadi percaya. Bahwa suatu hari nanti, aku pasti bakal ketemu sama orang yang tepat. Yang nggak akan ninggalin aku dan gak rela aku tergores luka sedikitpun,”

Dafa yakin gadis itu disana seorang diri. Apakah gadis itu berbicara kepada dirinya sendiri? Selain hal itu, Dafa mencoba mencerna baik-baik apa yang baru saja Vania bicarakan. Vania tampak memberikan kesimpulan dari buku yang ia baca.

“Sejak kapan Kakak ngintip disitu?” Vania mengerutkan keningnya memperhatikan Dafa di celah rak buku di depannya. Pertanyaannya berhasil memecahkan lamunan Dafa yang tengah sibuk mengelola kata-kata Vania tadi.

Dafa menyimpan kembali buku yang ia ambil dan menutup celah itu. Dafa menghampiri Vania lalu perlahan menempatkan diri di samping Vania. “Gue nyari buku paket Kimia. Tapi gak sengaja liat lo kek orang stres ngomong sendiri,” ujarnya.

Vania tampak terkekeh kecil, “Emang kamu gak pernah ngomong sendiri? Manusia aneh,” ujarnya.

Dafa memperhatikan buku yang ada di genggaman Vania. “Dari kata-kata lo tadi, kenapa lo bisa yakin hanya karena buku Novel ini yang jelas-jelas cuma imajinasi?”

Vania kembali tersenyum. “Kakak kira penulis bukan manusia?” Vania menyimpan buku Novel itu di meja yang berada di hadapannya. “Sebagian penulis pasti menceritakan tentang kehidupan yang dia alami. Dia pasti mencurahkan apa yang dia rasakan. Gak menutup kemungkinan juga si penulis nulis Novel ini berdasarkan keinginannya sendiri,”

“Jadi?” Dafa menaikkan satu alisnya.

“Jadi, kenapa kamu penasaran?” Vania memutarbalikkan pertanyaan.

Dafa menjatuhkan pandangannya. “Setelah gue ngalamin yang namanya dikhianatin. Gue gak pernah lagi percaya sama apa yang namanya cinta,” ujarnya.

Vania menatap wajah Dafa yang terlihat berbeda dengan kepribadian aslinya. Laki-laki itu tegas. Seperti tak ada kesedihan yang menimpanya. “Kak, masalah percaya atau gak percaya itu urusan Kakak. Tapi jangan sampai semua itu bener-bener ubah pandangan Kakak ya? Kalau suatu saat ada seseorang yang mau bahagian Kakak, jangan raguin dia. Mungkin untuk awal pasti ada rasa ragu. Tapi gak semua orang kayak Nenek Lampir kok, Kak,” Vania menguraikan.

Dafa terkekeh, “Nenek Lampir?”

Vania ikut terkekeh melihat perubahan wajah Dafa, “Iya, Kak. Cocok 'kan panggilan dari aku buat dia?’

“Kapan seseorang itu bakalan datang ke hidup gue?”

Vania tampak berpikir, “Mungkin setelah Kakak mencoba ikhlas dan lupa perihal yang terjadi ke hidup Kakak. Coba pelan-pelan lepasin semua yang ngusik pikiran Kakak. Mungkin seseorang itu bakalan datang disaat Kakak udah rela dan gak ada setitik perasaan dendam sama masalalu Kakak,” Vania benar-benar dewasa menanggapi ini.

Dafa memperhatikan wajah Vania yang tampak polos namun ternyata benar-benar ahli dalam menanggapi hal seperti ini. Ketika menatap kedua bola mata cerah milik Vania, entah mengapa Dafa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Gadis itu seperti menghipnotis pandangannya.

“Gimana kalo ternyata seseorang itu adalah lo?”

TO BE CONTINUE

GARIS WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang