25. LATAR BELAKANG

62 15 0
                                    

"Bintang secantik itu hanya bisa dilihat sebagai bintang, mana boleh memilikinya."

25. LATAR BELAKANG

“Ngerti 'kan apa yang baru Mama omongin?”

Dafa mengepalkan tangan kanannya yang terbalut arloji. Dafa menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Mama!” gertaknya.

“Eh? Kamu berani melawan Mama?” Sintia tersenyum sarkas. “Sekarang juga Mama kirimin orang buat bunuh cewek itu,”

Kedua mata Dafa terasa memanas. Ia tak mengerti dengan pola pikir Mamanya yang tak masuk akal. “Dafa bisa jaga Elina tanpa harus mengabaikan Vania. Kenapa pola pikir Mama gini?”

“Dafa, Mama gak mau lagi Elina kenapa-napa. Apalagi sekarang dia satu sekolah sama kamu. Kamu harus fokus jaga dia, bukan barengan sama Vania!” Sintia masih bersikap egois.

Dafa menahan diri untuk tak terpancing emosi. “Kenapa Mama gini? Dafa buat salah apa sama Mama?” Nada bicaranya semakin rendah.

Sintia menatap dalam anak laki-lakinya. “Kesalahan kamu adalah selalu nolak perjodohan yang udah Mama rencanain dan malah pacaran sama Vania!” bentaknya.

“Dafa gak mau Mama jodohin!” Anak laki-laki Sintia menggertak.

“Terserah kamu, Dafa. Sekarang kamu cuman harus jaga Elina tanpa harus sama Vania. Bisa 'kan?” Sintia mengangkat ponselnya layaknya ia kini sedang terhubung saluran telepon dengan seseorang. “El? Denger Mama 'kan? Besok kamu check-up sama Dafa ya. Kalo Dafa nolak dan bersikap gak peduli sama kamu langsung bilang ke Mama ya,”

Dafa tampak terkejut karena ternyata sejak tadi ponsel Sintia terhubung dengan Elina. Dafa geleng-geleng kepala dengan perlahan. Dafa pergi meninggalkan Sintia yang kini tersenyum melihat Dafa yang tampak tak mempunyai pilihan lain.

“El? Bilangin semua yang Dafa lakuin di sekolah. Pantau terus dia,” Elina yang bahkan bukan anak kandung Sintia lebih Sintia perdulikan dan selalu memanggilnya dengan sebutan layaknya seorang Ibu.

“Besok Mama pengen kamu pura-pura pingsan. Kalo Dafa gak peduli bilang Mama ya. Biar Mama yang kirim pelajaran buat Vania,”

****

Elina berjalan keluar menuju lapangan dengan seragam olahraga yang ia pakai. Elina memikirkan cara dan drama yang harus ia tampilkan hari ini. Elina menjadi bahan Sintia untuk membuat Vania merasa sakit hati dan berujung memutuskan hubungannya dengan Dafa.

Elina menarik nafasnya, sebenarnya ia tak tega melakukan ini. Namun ia juga tak mempunyai pilihan untuk menolak karena Elina berhutang jasa kepada Sintia yang selalu menjaganya dengan baik saat ia kecil.

“Gue bisa,” ujarnya pada dirinya sendiri.

Elina berpura-pura menjatuhkan diri dan memegangi dadanya. Ia menggunakan penyakitnya untuk mendapatkan perhatian dari teman-temannya yang lain. “Ah! Sakit!” teriaknya hingga teman sekelasnya yang sedang istirahat di lapangan langsung menoleh.

“Elina kenapa?” Salah satu teman Elina menghampiri.

“El? Lo gak apa-apa?”

“Kenapa El?”

“Penyakitnya Elina kambuh?”

Elina langsung berpura-pura memejamkan matanya. Samar-samar ia mendengar orang-orang disekitarnya sangat heboh dengan ini. Elina mencoba untuk tetap diam sampai akhirnya ia merasakan seseorang menggendong tubuhnya.

Beberapa saat kemudian Elina dapat merasakan tubuhnya berbaring di sebuah brankar. Elina menebak pasti saat ini ia sudah berada di UKS. Elina mulai melancarkan aksinya. Ia berpura-pura meracau tanpa membuka kedua kelopak matanya. “Dafa ... Dafa ...”

Teman-teman Elina tampak bingung, “Dafa? Kelas XII IPS 2?”

“Dafa ... Dafa ... Gue butuh lo ...”

“Dafa ... Tolong kesini ...”

“Marsel panggil Dafa sekarang!” Elina mengucap syukur di dalam hati saat salah satu temannya memerintahkan Marsel untuk memanggil Dafa.

Elina mulai membuka matanya. Elina tampak meringis dan memasang wajah sedihnya. “Maaf ya, penyakit gue kambuh,” ujarnya.

“Jangan banyak gerak dulu, El. Lagian lo gak salah ngapain minta maaf?” Perkataan Lansa banyak mendapatkan anggukan.

Elina menoleh kala mendengar derap langkah kaki yang terburu-buru. Elina memasang wajah lemas ketika Dafa sampai di ruang UKS dengan wajah yang sangat cemas.

“Eum ... Kalian boleh keluar dulu gak? Gue butuh waktu sama Dafa,” ujar Elina lalu melirik Dafa yang tampak mengepalkan kedua tangannya. Elina tau laki-laki itu pasti terpaksa menghampirinya.

Satu-persatu teman Elina pergi. Kini Dafa yang harus melancarkan akting. Laki-laki itu duduk di samping brankar yang ditempati Elina. Gadis itu semakin bersikap lemah dan lemas.

Elina melirik ambang pintu ketika seorang gadis terpaku disana. “Daf? Kepala gue sakit coba lo elus-elus,” ujar Elina.

Dafa mengelus kepala Elina. “Lo udah gak apa-apa, El?”

“Udah baikan, Daf. Makasih ya, ternyata lo masih peduli juga sama gue,”

“Gak usah bilang makasih. Ini emang tugas gue,”

****

“Dafa, kata nyokap lo sekarang gue check-up bareng lo. Lo gak nolak 'kan?”

Dafa sedikit mengepalkan tangannya dan menahan hatinya. “Iya, El. Langsung ke rumah sakit atau mau pulang dulu?”

“Pulang dulu aja, Daf. Kita makan dulu di rumah gue,” Elina melihat Dafa yang menganggukkan kepala dengan paksa. “Gue boleh pinjem handphone lo gak?”

“Buat apa?”

“Eum ... Gue mau buka link yang wali kelas gue kirimin. Di handphone gue gak bisa kebuka,” Elina mencoba mencari alasan yang tepat.

Mereka kini sedang berjalan menuju kelas Elina setelah Elina berpura-pura sudah tak merasakan sakit lagi. “Gak boleh, Daf? Ya udah gue bilangin ...”

Dafa langsung memberikan ponselnya dengan cepat. Dafa sungguh menjadi pengecut saat ini. Dafa tak mempunyai keberanian untuk menolak karena takut Sintia akan bertindak yang tidak-tidak kepada Vania.

“Gue boleh minta tolong beliin air mineral gak? Anter ke kelas gue ya!” Elina di mata Dafa semakin semena-mena. Dafa berkali-kali mengumpat di dalam hatinya.

Dafa menghela nafas dan menuruti kemauan Elina. Bagaimanapun ia saat ini berada di bawah kendali Elina. Sedangkan Elina saat ini langsung berjalan menuju kelasnya dengan ponsel Dafa yang langsung ia buka.

Banyak pesan yang Vania kirimkan namun belum Dafa baca. Elina segera menghapus berbagai pesan yang Vania kirimkan agar Vania mengira laki-laki itu mengabaikannya.

****

“Van? Lo masih mau bertahan sama bajingan itu?”

Athena dan Vania kini menatap Dafa dan Elina dari kejauhan sana yang sedang berada di tribun penonton. Mereka berdua tampak dekat dan akrab. Vania kembali dicampakkan layaknya hanya seorang mantan kekasih.

“Aku mau nunggu Dafa buat jelasin semuanya ke aku,”

Jawaban Vania membuat Athena keheranan. “Jadi cewek bego banget!”

TO BE CONTINUE

GARIS WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang