40. FIRST SENTENCE

50 11 0
                                    

“Jika rindu hanya sebatas kata, mengapa rasa sakitnya begitu terasa?”

40. FIRST SENTENCE

Vania berdiri di lapangan dengan satu kaki yang ia angkat dan kedua telinga yang ia pegang. Vania mendapatkan hukuman karena ia terlambat memasuki gerbang pagi tadi. Pilihannya hanya dua, masuk dengan hukuman atau pulang dengan menyisakan absen tanpa keterangan. Sudah jelas Vania akan memilih mendapatkan hukuman daripada harus mendapatkan alpha.

Vania memandangi sekelilingnya yang dipenuhi oleh para murid bengal. Sejak tadi ia terus mendapatkan tatapan jahil. Namun gadis itu mencoba tak peduli dengan itu semua.

“Lepas!” Vania memukul tangan salah satu laki-laki yang dengan berani memegang tangannya.

“Ya elah, jangan sok jual mahal gitu deh,” Salah satu teman Marka yang bernama Dimas memberi perkataan yang berhasil menyinggung perasaan Vania.

“Aku gak sok jual mahal. Tapi teman Kakak udah gak sopan pegang-pegang tangan sedangkan kita gak saling kenal,” Tanpa ada rasa takut sedikitpun, ia berani menjawab perkataan Dimas.

“Nama lo Vania kan? Lo pacar Dafa? Bajingan itu?” Marka semakin mendekati posisi Vania dan menarik sudut bibirnya. Hal ini lantas membuat Vania sedikit menjauh dan tak memperdulikan hukumannya.

“Kayaknya dendam gue bisa terbalaskan lewat lo,” ucap Marka yang mampu mengguncang degup jantung Vania. Kesialan apalagi ini? Mengapa tiba-tiba Marka berkata seperti itu padanya?

“Ma ... Maksud kamu?”

Marka berjalan di depan Vania yang berjalan mundur. “Pacar lo udah mempermalukan gue di depan semua orang. Dan sekarang, sepertinya gue bisa bales itu dengan mempermalukan lo juga,”

Bel istirahat berbunyi nyaring. Vania menyapu pandangannya kesana-kemari memperhatikan siswa dan siswi mulai memusatkan pandangan padanya dan Marka. Vania hendak berlari namun cekalan Marka terlebih dulu menahannya.

“Sialan!”

Dafa memukul pembatas koridor dengan kencang lalu berlari menuruni tangga untuk menuju lapangan. Dafa menerobos siswa-siswi yang menghalangi perjalanannya. Marka benar-benar tak bisa ia biarkan. Dafa harus memberi pelajaran pada tikus kecil itu.

Sebelum turun ke lapangan, Dafa terlebih dulu menghentikan derap langkah kakinya ketika menyaksikan seorang laki-laki memukul kencang wajah Marka dan membawa Vania menjauh darinya. Hati Dafa terasa terbakar ketika mengetahui orang itu adalah Mahesa.

“Bajingan lo!” Mahesa kembali mendaratkan pukulan pada rahang Marka. Gadis yang berada di belakangnya kini terlihat cemas. Vania mencoba untuk menahan Mahesa agar tak bertindak lebih jauh lagi.

“Udah, Kak. Aku nggak apa-apa,”

Marka mengusap sudut bibirnya. “Jadi, ini pacar lo juga? Dasar murahan,” Marka tampak berdecih.

Mahesa menatap dengan nyalang. Mahesa hendak kembali melayangkan pukulan namun teriakan dari Pak Erlan langsung membuat pergerakannya berhenti.

“Hei! Ada apa ini?!” Pak Erlan susah payah berlari dengan menyeimbangi perut buncitnya. “Kalian berantem?!”

“Pak, pertengkaran ini terjadi gak sengaja. Ini salah Vania,” Perkataan Vania membuat Pak Erlan menoleh. “Jangan hukum mereka,”

“Van? Dia mau macem-macem sama kamu. Kamu nggak bisa diem aja, Van.” Mahesa memperingati karena tak bisa jika Vania terus-menerus bersikap baik pada siapapun.

Marka menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pahlawan-pahlawan,”

Dafa menatap kerumunan itu dengan tatapan kosong. Dafa sadar, jika sekarang keadaan sudah berbeda dari sebelumnya. Dafa dan Vania tak memiliki status hubungan apapun lagi. Dan Dafa, tak mempunyai hak lagi terhadap hidup Vania. Hidup mereka kini berjalan di masing-masing jalan. Mereka tak bisa kembali berjalan beriringan di atas jalan yang sama.

Seorang perempuan menepuk bahu Dafa, “Kak?”

Dafa menoleh pada Raisya, dengan kepalan tangan yang ia simpan di samping tubuh, Dafa berlalu meninggalkan Raisya. Adik perempuan dari Dafa langsung otomatis mengejarnya.

“Kak!”

Disela langkah lari dalam mengejar Dafa, Raisya mengencangkan suaranya. “Gue cuma mau minta penjelasan. Kok lo mau sih menerima perjodohan itu? Lo nyerah gitu aja? Lo mau jadi pecundang?!”

Pecundang? Dalam lubuk hati Dafa kata pecundang lebih pantas untuk Raisya jika perlu dijelaskan. Karena merasa tersinggung, Dafa menghentikan langkahnya. “Gue bukan pecundang,” ujarnya.

“Apa alasan lo menerima perjodohan itu?”

Dafa langsung mengalihkan pandangannya. Sedikit ia menelan saliva karena bingung mencari alasan yang tepat untuk pertanyaan konyol ini. Dafa tidak mau Raisya tau apa yang terjadi pada Ibu mereka. “Lo gak perlu tau,”

“Maksud lo? Jelas gue harus tau!”

Dafa tak memperdulikan perkataan Raisya dan kembali melenggang pergi. Raisya tak menyerah begitu saja, gadis itu mengejarnya dengan sekuat tenaga. “Gue harus tau apa alasan lo,”

“Gue tau ada hal yang buat lo jadi gini, Kak!’

“Jelasin ke gue sekarang!”

Raisya terus berceloteh namun Kakak laki-lakinya itu seperti menutup telinga. Raisya tak mempunyai pilihan lain selain mempertanyakan ini. “Apa lo udah gak sayang lagi sama Kak Vania?”

Langkah kaki Dafa berhasil terhenti. Dafa benar-benar tersinggung dengan pertanyaan Raisya. “Apa lo udah suka sama Nazila?”

Satu pertanyaan lagi yang keluar dari mulut Raisya berhasil membuat Dafa terpancing untuk berapi-api. Kedua tangannya terkepal menahan emosi yang melonjak. Dafa langsung menghadap Raisya dengan wajah yang seperti terbakar akibat menahan marah.

“Sialan!”

Tanpa sadar, tangan kanannya melayang yang hampir menampar pipi Raisya. Kejadian itu tak terjadi karena sebuah tangan dengan kuat menahan Dafa agar tidak lagi melanjutkan perbuatannya yang keterlaluan.

Dafa menoleh dan menangkap Ryan yang sedang menahan tangannya. Dafa sigap menghempas kasar tangan Ryan yang menahannya. “Maaf, Kak. Tapi lo jangan kasar gitu. Apalagi sama adik lo sendiri. Itu keterlaluan,”

Kedua kelopak mata Raisya yang tadi sempat tertutup kini terbuka karena suara yang sama sekali tak asing itu masuk ke dalam gendang telinga. Bagai dewa penyelamat, Ryan seperti selalu mendapat sinyal ketika Raisya membutuhkannya.

“Lo bisa 'kan jelasin baik-baik? Lo tau kan dia cewek?”

Tanpa berniat membalas perkataan Ryan, laki-laki yang sedang memendam amarah itu kini kembali memusatkan pandangan pada adik perempuannya. “Gak usah sekalipun usik kehidupan gue lagi,” ujarnya.

Dafa berlalu meninggalkan Ryan dan Raisya. Raisya semakin bingung dan perlakuan Dafa lagi-lagi hanya menyisakan tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Dafa begitu marah saat ia mencoba ingin tau apa yang menjadi alasan Dafa menerima perjodohan kontol itu?

Ryan mengelus rambut Raisya dengan lembut. “Jangan pikirin kata-kata Kakak lo. Mungkin dia cuman lagi capek, makanya dia gitu ke lo,” ujarnya.

Mungkin perlakuan Dafa yang kasar sudah tak aneh lagi Raisya dapatkan. Hati Raisya seperti dibiarkan mati karena keluarganya sendiri. “Thanks, Yan. Jangan kayak mereka ya? Gue cuman punya lo,”

TO BE CONTINUE

GARIS WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang