1 - Journey

113 8 14
                                    

Deru kereta terdengar begitu berisik. Menelan isak tangisku yang hampir terasa tanpa suara. Di salah satu bangku, aku meraba hati yang kemarin sempat tak terasa. Ternyata, telah hancur bentuknya. Aku hanya terlambat menyadari, sehingga duka yang terasa mencekik ini terkesan terlambat datang menghampiri.

Suri, akhirnya aku juga pergi dari Kusumajati.

Kini aku sedang menempuh sebuah perjalanan untuk mencari kedamaian. Sebab, kepergianmu mewariskan perasaan bersalah yang terasa menyiksa. Namun kalau ini memang bentuk kecewa dan marahmu, tak apa. Aku terima dengan tangan terbuka.

Tak ada penyangkalan, karena sedikit banyak aku turut bersalah atas kepergianmu. Bahkan jika seumur hidup ini dihabiskan dengan memohon ampunanmu, rasanya tak akan cukup. Semua sudah terlambat, bayanganmu terlanjur lenyap.

Suri, apakah kamu telah sampai di tempat yang lebih indah dan tenang?

Sudah lima jam aku duduk di salah satu bangku kereta. Badan terasa pegal semua. Tapi tujuan masih terasa jauh di depan sana. Sepertinya baru akan sampai ketika hari telah gelap, atau setidaknya ketika senja telah tiba. Perjalanan ini memang tak pernah singkat.

Vila Kusuma. Kami menyebutnya begitu. Sebuah persinggahan tenang di kaki gunung yang didirikan oleh Eyangku. Di tempat yang dalam bayanganku selalu berkonotasi dengan kata menyenangkan itu, aku akan berusaha melebur semua yang memberatkan hati; sekaligus melipurkan lara.

Bertahun-tahun lalu, mendengar nama vila ini saja selalu berhasil membuat kami terserang euforia. Saat libur sekolah tiba, aku, kakak dan adikku memasukan baju ke dalam koper dengan semangat. Kami juga mengemas banyak mainan dan menguras isi kulkas untuk dijadikan bekal. Setelahnya, kami merengek kepada Ayah untuk diantar ke vila. Tak sabar ingin berjumpa dengan Eyang Kakung dan Eyang Putri yang selalu menyambut kami dengan istimewa.

"Ayah, sudah lama kita nggak ke vila."

"Di sana sudah nggak ada apa-apa, Wa."

Semenjak Eyang meninggal, kami seperti kehilangan alasan untuk datang lagi. Sebab, yang ingin dijumpa sudah tidak ada. Akhirnya keberadaan tempat itu jadi semacam antara ada dan tiada. Terlupakan begitu saja.

Diam-diam, sejak lama aku ingin kembali ke vila. Pada malam-malam tertentu, ketika aku diserang rindu, kepalaku menciptakan bayangan seolah-olah aku berada di sana. Tak begitu sulit menciptakan ilusi, karena segalanya masih segar di ingatan.

Berarsitektur yankee, berwarna ivory, dan selalu terasa asri.

Di depan vila, ada perkebunan stroberi yang membentang luas. Kalau kami datang saat musim panen, Eyang Putri akan mengajak memetik stroberi. Buah merah yang ranum itu kemudian akan dibuat kue. Penampilannya mungkin kalah cantik dengan yang dipajang di etalase bakery langgananmu. Tapi rasanya enak sekali; dan sayangnya, hingga kini aku tak pernah menemukan duplikatnya.

Di halamannya yang luas, ada kolam ikan yang juga menjadi tempat bermain favorit Freya. Ia senang memberi makan koi. Bahkan kadang gemas dan ingin menangkap juga. Adikku itu selalu ingin membasahi tangannya yang mungil dengan air yang keluar dari patung kura-kura bertumpuk tiga. Kalau sudah begitu, artinya tugas buatku. Sebab, aku harus menjaganya supaya tidak jatuh ke dalam kolam.

Setiap sudut tempat itu, ada banyak hal yang bisa diceritakan. Di bawah atapnya yang asimetris, ada banyak kenangan tersimpan. Dalam bayangan, vila itu adalah satu-satunya tempat dimana kehadiran Eyang bisa dirasakan; pekat akan aroma kerinduan. Sehingga aku rasa, vila bisa memberikanku ketenangan.

"Kamu sadar nggak sedang bicara apa?"

"Kamu gila, Wa."

Sayangnya, keberangkatanku ini menimbulkan pertentangan. Keputusanku tidak mendapatkan dukungan. Sebab, menurut mereka, aku gegabah dan mendramatisir keadaan. Bahkan sejak menyatakan ingin pergi ke vila, kaluargaku terus melempar pertanyaan dan sedikit hujatan. 

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang