"Kenapa bisa sekotor ini, Pak?" tanyaku kesal.
Sehari setelah tiba, aku langsung mengecek keadaan vila. Rasanya ingin menangis kala mendapati tempat yang pernah menjadi kebanggaan keluarga kami, wujudnya jadi seperti ini. Perjalanan menelusuri setiap sudut vila jadi terasa menyiksa, karena aku dihujam rasa bersalah pada setiap langkah.
Pak Hadi menjawab dengan terbata-bata, "ini habis dibersihkan kok, Mas. Terakhir dua hari lalu."
Aku bahkan tak akan percaya jika ada yang mengatakan kamar ini dibersihkan dua tahun yang lalu. Terlalu kotor. Mirip bangunan yang terbengkalai selama bertahun-tahun sampai akhirnya menjadi rumah hantu. Kalau ada youtuber horor lihat, mungkin mereka akan berminat untuk penelusuran di sini.
"Yang dibersihkan bagian mana saja, Pak?" sindirku sambil membuka jendela supaya tidak terlalu pengap.
Aku menahan gusar ketika melihat gorden yang telah sobek. Vitrasenya juga berlubang di beberapa bagian. Warnanya jangan ditanya, sudah jelas kusam.
Melihat kasur, aku sampai bergidik. Selimut dan spreinya kotor sekali. Kalau disuruh tidur di sana, aku tak sudi. Apalagi tamu.
"Semuanya, Mas." Pak Hadi sibuk menyapu lantai. "Saya nggak pernah bohong. Semua saya bersihkan."
Debu di atas meja terlalu tebal, sampai membuat warna asli kayu terlihat samar. Dulu, di sana selalu ada vas keramik yang berisi bunga segar. Setiap pagi, Eyang Putri akan membeli bunga-bunga dari para petani. Sekalian melarisi dagangan mereka, katanya. Tapi jangankan bunga, vasnya saja kini sudah tidak ada. Kini, meja berukir itu bukan lagi sebagai penghias ruangan, namun sekadar barang tua tak berguna.
Entah sudah berapa kali, yang jelas aku kembali menghela napas. Ya Tuhan, sudah berapa lama tempat ini tidak dijamah manusia?
Tapi siapa yang bisa disalahkan di sini, Suri? Pak Hadi sudah melakukan tugasnya. Kalau ada yang tidak benar, mungkin karena usianya yang sudah tua dan tak mampu lagi mengurus vila dengan lima kamar. Pun, sebenarnya ia hanya berstatus sebagai orang yang dipekerjakan Ayah. Dengan kata lain, kalau ada sesuatu yang salah, kami yang harus bertanggung jawab.
Eyang sudah mempercayakan kami untuk merawat persinggahan tenang ini. Tapi kami malah memerintahkan orang lain. Tak pernah singgah barang sebentar, apalagi ambil peran. Atau bahkan hanya sesederhana memberikan pengawasan. Main lepas tangan.
Aku menutup buku catatan dengan agak kasar. Sudah ada banyak catatan di sana. Poin-poin mengenai apa yang perlu diganti dan diperbaiki. Nanti hasil catatan itu akan dibuat perencanaan dan estimasi biaya. Tapi bahkan sebelum perkiraan biaya yang harus dikeluarkan jadi, kepalaku sudah sakit membayangkan betapa banyak jumlahnya.
"Pak Hadi, besok tolong panggilkan orang yang bisa merenovasi vila."
"Siap, Mas," sahut Pak Hadi.
Aku harus menghilangkan kesan suram yang disebut Mas Natha. Namun juga ingin mempertahankan desain klasiknya. Itu proyek pertama. Kalau semua sudah selesai, akan aku pikirkan bagaimana caranya biar pengunjung bisa datang lagi kemari.
Kesannya memang terburu-buru. Aku ingin segera membuat vila ini layak huni lagi supaya rasa bersalah juga segera berhenti menyiksa. Aku tahu ini tak akan mudah. Tapi setiap mengingat betapa kami telah menelantarkan peninggalan Eyang, aku bersemangat lagi untuk menebus kesalahan.
Semua bermula pada sehari setelah kematianmu, Suri. Hari itu aku diserang demam tinggi. Penyebabnya tak jelas. Aku pun bingung. Kemarin-kemarin rasanya masih sehat-sehat saja. Aku juga bukan tipe orang yang mudah sakit. Namun tiba-tiba, ketika bangun di dini hari, kepalaku sakit tak karuan. Badanku lemas hingga rasanya membuka mata saja tak sanggup. Keinginan untuk muntah bergolak naik turun di tenggorokan. Tapi karena tidak mampu berjalan ke kamar mandi, akhirnya aku hanya bisa menahan sambil meringkuk di tengah kesakitan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Vila Kusuma
RomansaKematian Suri, sang sahabat seperjuangan tidak hanya membuat Dewangga berduka, namun juga merasa bersalah luar biasa. Perasaan itu membuatnya mengundurkan diri dari KAP Kusumajati, tempat dimana ia serta Suri berkarir untuk meraih mimpi-mimpi. Dewa...