14 - Enough

29 6 0
                                    

Aku berjalan ke arah warung milik Wira dengan hati yang dongkol. Bayangkan saja, aku sudah berusaha menghubungi Pak Hadi sejak kemarin. Bahkan hari ini, aku menunda agenda sampai siang hanya untuk menunggunya. Tapi jangankan terbalas. Nomor Pak Hadi bahkan tidak aktif.

Usahaku tidak hanya sampai di situ saja. Aku datang ke rumahnya, dan berharap menemui Pak Hadi di sana. Tapi jangankan bertemu dan menyampaikan maksudku. Rumahnya bahkan kosong.

"Hai, Wir."

Aku menyapa dengan senyum terpaksa. Semoga saja Wira tidak menyadarinya. Ini di luar kehendakku. Saking kesalnya, bibirku bahkan menolak untuk tersenyum lebih tulus.

"Ya, Mas?" Wira memasukkan belanjaan seorang pembeli ke dalam kantong plastik. "Mau stroberi lagi?"

"Oh, nggak," jawabku sambil menggerakkan kedua tangan di depan dada. "Saya mau-"

"Uangnya masih sisa, Bu. Mau tambah terasi biar nggak usah kembalian?"

Aku menghela napas ketika menyadari Wira masih sibuk dengan pekerjaannya. Terpaksa mengalah, aku menggunakan kesempatan itu untuk meredam amarah. Kan tidak lucu juga kalau Wira yang tidak tahu apa-apa jadi sasaran kekesalan. Sekaligus, menunggu sampai nenek pembeli itu pergi dan kami bisa berbicara dengan lebih leluasa.

"Kenapa, Mas?" tanya Wira setelah pembelinya meninggalkan kami berdua.

"Saya mau cari Pak Hadi," sahutku tanpa basa-basi. "Kamu tahu di mana ayahmu?"

Di luar dugaan, Wira yang biasanya selalu baik malah melengos. Ia seolah tidak begitu suka dengan pertanyaanku. Aku sampai khawatir kalau telah melanggar privasinya atau apa.

Ia menjawab dengan acuh, "saya nggak tahu. Sudah tiga hari nggak pulang."

Jawaban itu jelas membuatku mengernyit. Bagaimana mungkin ia tidak tahu ayahnya pergi ke mana? Apa tidak ada sedikitpun kekhawatiran dalam hati Wira?

Dalam bayanganku, Pak hadi mungkin sedang pergi ke luar kota. Sama seperti ayah biasanya. Namun setiap kali ayah pergi jauh, apalagi sampai berhari-hari, tak pernah sekalipun kami tidak tahu ke mana tujuannya. Kapan pulang, atau bahkan sesederhana naik pesawat atau kereta. Ayah juga selalu memberi kabar segera setelah sampai. Bahkan saat dalam perjalanan pulang.

Tapi lihatlah Wira. Apakah ia tidak memikirkan bahwa mungkin di sana ayahnya memiliki kendala sampai tidak bisa pulang?

"Kira-kira kapan pulang, ya, Wir? Saya perlu bantuan untuk menata ulang vila."

Aku sudah mengagendakan hari ini untuk membuat vila siap huni. Untuk barang-barang kecil, tentu aku bisa melakukannya sendiri meskipun mungkin tidak satu hari jadi. Tapi yang namanya vila pasti perlu tempat tidur. Tidak mungkin mampu aku mengangkatnya sendiri tanpa pertolongan. Jelas peran Pak Hadi sangat dibutuhkan dan diharapkan di sini.

"Saya nggak tahu, Mas."

Wira meninggalkan meja kayu lapuk yang menyisakan sedikit sayur, pertanda dagangannya laris hari ini. Laki-laki yang biasanya tampak ramah itu berjalan ke arah pembatas beton dan duduk di sana. Ia merogoh sesuatu dari kantong, dan mengeluarkan sebungkus rokok serta pemantik.

Aku kembali menghela napas. Kemudian bergerak mendekat ke arah Wira, dan duduk di sebelahnya. Asap rokok menyambutku. Baunya yang pekat terendus hidungku.

Wira menyodorkan rokoknya. Menawariku tanpa kata. Aku menggeleng karena memang bukan penikmat sigaret.

"Pak Hadi punya pekerjaan lain, ya?" tanyaku setelah membiarkan pria yang lebih muda dariku ini menghisap lintingan tembakaunya beberapa kali.

Wira tersenyum sinis, dan mendengus kecil. "Kalau judi dan sabung ayam termasuk pekerjaan, berarti iya."

Jujur, aku tidak tahu bagaimana mekanisme sabung ayam. Apa saja rangkaian acaranya, dan berapa lama. Kegiatan itu terasa asing untukku karena memang tidak pernah menemuinya di kota. Aku juga tidak tahu sesibuk apa Pak Hadi merawat ayam-ayamnya sampai-sampai tidak sempat datang ke vila. Tapi yang aku tangkap, kegiatan itu punya stigma negatif di masyarakat.

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang