21 - Marriage

43 5 5
                                    

"Terima kasih, ya, Mas Dewa."

Seorang gadis muda menyalamiku dengan senyum. Aku membalasnya dengan keramahan pula. Namun gadis lain di sebelahnya, membalas jabatan tanganku dengan setengah hati. Menyebalkan sekali.

"Sama-sama. Semoga Vila Kusuma berkesan, ya."

Alih-alih mengucapkan 'semoga besok datang lagi, ya' seperti biasanya, aku memilih untuk mengucapkan kalimat itu. Sungguh, pertemuan selama tiga hari ini membuatku sama sekali tak berharap mereka kembali lagi.

Semua bermula pada suatu malam, saat aku sedang asyik menonton Spirited Away. Ada sebuah pesan masuk. Jam dua belas, Suri. Jelas bukan jam kerja. Tapi ya sudahlah. Namanya juga baru merintis usaha.

Pesan itu dikirimkan oleh seseorang bernama Ritz. Dia memperkenalkan diri sebagai seorang figur publik. Katanya, ia punya sosial media yang diikuti ratusan ribu orang.

Semula aku heran, untuk apa ia menjelaskan dirinya sepanjang itu kepadaku? Aku tak peduli seberapa terkenalnya Ritz. Vila Kusuma terbuka bagi siapa saja tanpa melihat jumlah pengikut di sosial media. Tapi kemudian aku tahu motifnya ketika Ritz mengajukan penawaran.

Gratis menginap di sini selama tiga hari, dan ditukar dengan promosi.

"Hati-hati di jalan, ya, Sofia, Ritz," ujarku ketika mereka masuk ke dalam mobil. Sofia mengiyakan dengan senyum, sedang Ritz masih saja angkuh.

Aku melambaikan tangan ketika city car silver itu mulai berjalan. Kemudian bersorak riang sambil sedikit memaki ketika sudah hilang dari pandangan. Selamat tinggal tamu menyebalkan!

Permintaan Ritz tidak bisa dipenuhi, tapi aku mengajukan penawaran setengah harga. Setelah melihat profilnya, aku merasa gratis terlalu berlebihan karena pengikutnya belum sebanyak milik Selena Gomez. Tapi kesempatan ini juga terasa terlalu naif kalau disia-siakan. Jadi aku mengambil jalan tengah.

Setelah perdebatan panjang, Ritz akhirnya setuju. Tapi ia seolah balas dendam kepadaku. Sikapnya sombong sekali. Lirikan matanya selalu terasa memusuhi. Padahal dia lebih muda, tapi tidak ada sopan-sopannya.

"Mari, Bu."

Dengan senyum lebar, aku menyapa ibu petani yang akan berangkat ke ladang sembari menutup gerbang. Seraya berjalan ke arah kamar alamanda, aku bernapas lega. Tiga hari ini aku kerja rodi untuk mereka. Sekarang rasanya bebanku terangkat semua.

Sofia, gadis yang datang bersama Ritz tadi memang tidak angkuh. Tapi dia manja. Pada malam pertama, aku tiba-tiba ditelpon dan diminta datang ke kamar mereka hanya untuk mengepel lantai. Mereka tidak bisa, dan tidak tahu caranya membersihkan kopi yang tumpah. Jelas aku dongkol karena mimpiku jalan berdua dengan Pevita harus hancur. Tapi aku bisa apa?

Itu baru satu hal. Mereka itu banyak mau. Ponselku hampir tidak berhenti berdering karena panggilan Ritz dan Sofia.

Suri, siapa sangka kalau Vila Kusuma juga bisa mempertemukanku dengan banyak orang. Tak kalah dengan KAP Kusumajati yang bergengsi. Di sini aku menemui berbagai jenis manusia. Ada yang baik sekali sampai aku dianggap anak sendiri, ada juga yang datang untuk menyepi karena patah hati. Bahkan, beberapa ya seperti ini, membuatku emosi.

Hatiku langsung kembali dilanda kesal kala pintu kamar alamanda terbuka. Mataku membulat dan bibirku hampir kelepasan berteriak. Gila! Apa yang sebenarnya mereka lakukan di sini?

"Ya Tuhan ...."

Aku memang belum pernah melihat bagaimana rupanya kapal pecah. Tapi ungkapan itu tetap aku pakai untuk mendeskripsikan tempat ini. Lihat saja betapa hancurnya!

Aku mengusap wajah dengan kasar. Menyadarkan diri supaya segera mengakhiri keluhan. Kamar alamanda perlu dibersihkan. Khawatir ada tamu yang tiba-tiba datang tanpa melakukan reservasi. Biasanya mereka adalah wisatawan yang memutuskan menginap secara mendadak.

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang