16 - Rose

31 7 0
                                    

Akhirnya aku bertemu dengan Dokter Danuja. Pria yang sebelumnya hanya aku ketahui namanya lewat papan di depan rumah oranye cerah itu. Ia datang kemarin saat tengah hari untuk menjemput putrinya, Dian Ayu.

Secara penampilan, menurutku ia terlalu muda untuk menjadi seorang ayah bagi anak yang sudah dewasa. Awalnya aku mengira rambutnya yang hitam itu bisa jadi karena dicat. Namun melihat tubuhnya yang sama tingginya denganku itu masih tegap dan gagah, aku menduga ia memang sering latihan fisik. Kerutan di wajahnya pun tak banyak, dan kulitnya masih terlihat segar. Semua yang membuatnya tampak awet muda ini, pasti didapat dari perawatan konsisten sejak bertahun-tahun lalu.

Bertemu dengan Dokter Danuja, juga membuatku tahu dari mana kecantikan Dian Ayu berasal. Mereka punya wajah yang begitu mirip. Kalau saja hanya melihat sekilas, mungkin aku akan menyangka Dian adalah adiknya.

"Ayo pulang, Dian."

Suaranya yang berat terdengar tegas, tapi tidak menakutkan. Orang yang mendengar Dokter Danuja berbicara pasti tidak akan berani membantah, meskipun ia tidak membentak atau marah. Aku tidak tahu apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Tapi mungkin yang paling mendekati adalah ..., berkarisma.

Nada suaranya yang datar seperti sebuah perintah yang tidak ingin dibantah. Tapi tidak membuatku merasa terancam. Namun sepertinya Dian Ayu memiliki pendapat yang berseberangan denganku.

Ia berjalan pelan ke arah ayahnya dengan wajah menunduk ketakutan. Kemudian ketika Dokter Danuja memegang erat tangannya dan mulai berjalan meninggalkan rumahku, ia melirik dengan mata yang berkaca-kaca. Dian Ayu meninggalkan Vila Kusuma dengan wajah yang tidak rela. Membuatku bertanya ada apa sebenarnya.

Aku hanya bisa mengantar mereka sampai ke depan gerbang dengan penuh kebingungan. Membiarkan pasangan ayah-anak itu pergi menembus halimun pekat yang ditinggalkan hujan setelah reda.

Malam ini, aku memikirkan kembali tentang kejadian kemarin. Saking fokusnya, aku sampai membiarkan Anya mengoceh kepada Yor tanpa sedikitpun ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Aku tidak sedang penasaran dengan keluarga Forger, karena keluarga Pramono lebih misterius.

Aku menghela napas dan bangun dari tidur. Meraih camilan di atas meja, kemudian bersandar pada kepala ranjang. Sambil mengunyah keripik kentang, aku membayangkan gadis asing yang entah kenapa bisa membuatku kepikiran.

"Orang bilang kami mirip. Tapi bagi saya, dia lebih cantik."

Padahal menurutku dia sangat cantik. Kulitnya putih, namun sayang, terlihat pucat dan tidak bercahaya. Ada sepasang lesung pipi yang membuatnya tampak manis. Alisnya yang kecil dan melengkung, mengingatkanku pada bulan sabit. Dan aku yakin, semua itu didapatnya secara alami. Semacam berkah dari Tuhan.

Tubuhnya yang langsing itu mungkin menjadi dambaan kaumnya. Tapi di mataku, justru malah terlihat terlalu kurus. Agak kurang pas dengan tinggi tubuhnya yang sekitar seratus enam puluh senti. Aku sebenarnya khawatir kalau ia melakukan diet yang terlalu ketat dan berakhir menyakiti diri sendiri.

Gadis itu juga tidak memperindah tampilannya dengan perhiasan yang bergemerlapan. Hanya sebuah gelang perak yang modelnya sangat sederhana di tangan kiri. Kemarin, aku hanya melihatnya sekilas. Tadi dari jarak dekat, aku melihat ada ukiran di sana. Sayangnya tak jelas apa tulisannya.

Kalau saja ada agensi melihatnya, pasti Dian akan ditawari menjadi model atau bahkan artis. Di tangan mereka, Dian Ayu pasti akan semakin merepresentasikan namanya. Dan aku tidak sanggup membayangkan akan secantik apa ia. Mungkin duduk bersebelahan denganku saja tak akan sudi.

Kisah Anya telah berakhir, dan aku tidak ingin melanjutkan ke episode selanjutnya untuk sekarang. Suara jangkrik telah menjadi musik pengantar tidur yang syahdu dan memberatkan kelopak mataku. Lampu tidur yang telah dinyalakan sejak tadi pun membuaiku dalam keremangan. Mengantarkanku pada bunga tidur yang menjemput tak lama kemudian.

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang