"Bagaimana, Pak Yos? Kira-kira kapan vila bisa mulai ditempati?"
Sore ini, aku sengaja menemui Pak Yos, sang mandor, untuk menanyakan kemajuan renovasi vila. Kalau dilihat dari kacamata awam, vila ini sudah hampir jadi. Tapi aku ingin mendapat validasi dari yang lebih mumpuni.
"Kalau lancar, mungkin seminggu lagi, Mas."
Aku mengangguk singkat dan mulai melihat setiap detail bagian vila. Warna cat yang kusam sudah diganti dengan warna coklat muda. Tampak bersih dan elegan, apalagi ketika dipadu dengan ornamen kayu yang sengaja dipertahankan. Kesan klasiknya tidak hilang.
Desain vila ini sederhana saja sebenarnya. Namun ada bagian-bagian unik yang membuatku merasa, arsiteknya punya pemikiran yang cukup maju di zaman itu. Atap melengkung yang ujungnya hampir menyentuh tanah misalnya. Aku pikir desain serupa hanya ada pada bangunan masa kini saja. Karena aku belum pernah menemui rumah kuno dengan bentuk atap yang mirip.
Bangunan vila memang dibuat agak tinggi. Harus melewati tangga kayu selebar sekitar satu meter untuk sampai di beranda. Bukan beranda yang besar, sebenarnya. Hanya cukup untuk sepasang kursi serta satu buah meja di salah satu sisinya. Namun beranda ini bisa digunakan untuk duduk mengobrol sambil minum teh. Dihiasi dengan bunga-bunga di bawahnya, beranda itu terasa istimewa.
"Ada yang kurang, Pak?" tanyaku sambil mendekat ke arah Pak Yos yang sedang memastikan pintu bisa tertutup dan terbuka dengan benar.
Fasad vila tidak banyak berubah. Tetap dengan sebuah daun pintu yang diapit jendela berukuran sedang. Jendela di sebelah kiri, bisa dibuka ke kiri begitu pula sebaliknya. Sederhana, tapi cukup cantik juga.
"Kurang teralisnya saja, Mas. Baru datang besok."
Aku menoleh dan menyadari bahwa teralis memang belum terpasang. Sebenarnya bisa saja dibuat tanpa teralis supaya beranda juga terlihat lebih lebar. Tapi aku takut malah jadi tidak ramah anak.
Meninggalkan Pak Yos, aku masuk ke dalam bagian dalam vila. Ruangan ini tidak terlalu besar. Tapi cukup untuk sebuah ranjang ukuran queen size, nakas di bagian kanan dan kiri, serta sofa panjang di dekat perapian. Itu pun masih menyisakan ruangan yang cukup lega.
Bagian kamar mandi cukup sederhana karena keterbatasan ruang. Tidak ada bathup, namun ada wastafel dan closet duduk. Bagian untuk mandi dipisahkan partisi kaca dan dilengkapi dengan shower. Tidak cukup mewah, tapi lengkap.
"Saya sengaja pilih kaca gelap untuk jendela samping, Mas. Supaya aktivitas di dalam nggak terlihat dari luar," ujar Pak Yos sambil terus membenarkan pintu.
Aku mendekat ke arah jendela yang ia maksud. Ruangan ini memang sengaja didesain dengan banyak jendela supaya udara terus berganti dan segar setiap saat. Ketika tanganku mendorong jendela ke depan, aku disambut oleh sebatang pohon mangga yang berdiri tinggi. Pohon yang bergoyang pelan terkena angin itu merubahku menjadi Dewa kecil berusia sepuluh tahun.
"Ini mangga tali jiwo, Dharma. Kesukaanmu," ujar Eyang Kakung sambil memasukan bagian akar bibit pohon setinggi setengah meter ke dalam lubang.
Kamu pernah dengar mangga jenis ini, Suri? Ada yang menyebutnya dengan lali jiwo, tapi aku lebih terbiasa menyebut dengan istilah tali jiwo. Bukan apa-apa, aku hanya merasa aneh dengan artinya. Dalam bahasa sukuku, Jawa, 'lali' artinya lupa. Jadi kalau lali jiwo, artinya lupa jiwa.
Mangga ini baunya tidak terlalu harum, tapi manis sekali. Meskipun belum masak betul, rasanya pun tidak asam. Sayangnya, mangga yang konon katanya hanya bisa tumbuh di Jawa ini semakin sulit ditemui. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali makan mangga yang seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vila Kusuma
RomanceKematian Suri, sang sahabat seperjuangan tidak hanya membuat Dewangga berduka, namun juga merasa bersalah luar biasa. Perasaan itu membuatnya mengundurkan diri dari KAP Kusumajati, tempat dimana ia serta Suri berkarir untuk meraih mimpi-mimpi. Dewa...