Sejujurnya, aku agak merasa terganggu dengan penyematan kata 'aneh' yang dilakukan Wira kepada Dian Ayu. Aneh seperti apa yang dia maksud? Kenapa harus menggunakan kata itu, alih-alih yang lebih sopan? Memangnya tingkah 'aneh' Dian mengganggu?
Belum lagi, cara bicara Wira yang terasa agak menghakimi. Aku khawatir, kalau selama ini Dian memang sering mendapat perlakuan seperti itu. Bukan hanya dari Wira, namun juga yang lain. Jangan-jangan, itu yang membuatnya tidak datang lagi ke rumahku?
"Pagi, Bu," ujarku dengan senyum ketika Ibu Dian membukakan pintu.
Senyum itu terasa canggung dan tidak nyaman. Ibu Dian menatapku seperti sebuah gangguan.
"Pagi, Mas Dewa. Ada apa, ya?"
"Saya mau bertemu Dian, Bu. Apa Dian ada di rumah?"
Kedatanganku kemari, tidak untuk secara gamblang mencari tahu alasan ketidakhadirannya di kelas seminggu lalu. Melainkan karena aku memang memerlukan Dian untuk membantu. Murid yang datang semakin banyak, bahkan di luar ekspektasi. Bukan hanya muda-mudi, bahkan Adit, Rani dan kawan-kawannya pun ikut juga.
Orang tua mereka meminta tolong kepadaku untuk mengajari anak-anak kecil pula. Minimal anak-anak SD dan SMP itu bisa mengerjakan tugas dari guru di sekolah. Bukannya mau terlalu percaya diri. Tapi dari kalimatnya, sepertinya aku memang satu-satunya harapan mereka.
Di sini tidak ada tempat les bahasa Inggris yang berjajar seperti di kota. Kalaupun ada, tidak akan terjangkau oleh masyarakat di desa ini. Warga di sini pun punya pendidikan rendah. Mengajari pekerjaan rumah sederhana saja tidak mampu, apalagi bahasa Inggris.
Aku tidak bohong soal kenyataan miris ini, Sur. Juga tidak sedang melebih-lebihkan. Ketimpangan pendidikan dan ekonomi memang nyata di sini. Dan sialnya, mereka juga tidak memiliki keinginan untuk mendapat pendidikan tinggi.
Dian langsung terlintas di pikiranku ketika melihat peningkatan jumlah murid yang datang. Tentu alasannya karena hanya dialah satu-satunya orang yang fasih berbicara bahasa Inggris di sini. Kalau memang ketidakhadirannya kemarin bukan karena sesuatu yang penting, aku ingin meminta tolong kepada Dian untuk datang lagi esok hari. Kami bisa membagi tugas, dan bekerja sama untuk membantu anak-anak dan muda-mudi.
"Dian sedang pergi, Mas Dewa."
Aku diam sebentar untuk meredam keriuhan di kepala. Tentu alasannya jelas karena adanya ketidaksinkronan soal apa yang dikatakan Wira dengan ibu Dian. Tapi demi kesopanan, aku menganggap bahwa detektif Wira memang kurang informasi. Meskipun dengan kenyataan bahwa ibu Dian pernah berbohong kepadaku.
"Kira-kira kapan pulang, ya, Bu? Saya benar-benar perlu bicara sama Dian."
Ibu Dian kebingungan. Dari ekspresinya, aku membaca ada sesuatu yang disembunyikan.
"Sa-saya nggak tahu kapan pulangnya. Kadang bisa sampai malam sekali, atau malah tidak pulang. Menginap di rumah temannya."
Dian tidak takut gelap ternyata.
"Kalau gitu, saya boleh minta nomor teleponnya?"
Ini memang terkesan memaksa. Tapi aku benar-benar kewalahan. Juga, tidak bisa menolak permintaan orang tua Adit dan kawan-kawan. Sekaligus, tidak sampai hati melepas muda-mudi karena aku sendiri yang mengajak mereka belajar bersama. Jalan satu-satunya adalah meminta pertolongan Dian.
Ibu Dian menjawab cepat, "Dian tidak punya ponsel."
Aku tidak bisa menahan kedua alisku untuk menyatu. Manusia macam apa yang tidak punya ponsel di abad dua puluh satu? Kalau orang tua, mungkin aku bisa maklum. Tapi Dian ini anak muda. Bahkan kalau dikira-kira, usianya dua atau tiga tahun di bawahku. Sekalipun di desa, rasanya aneh sekali kalau Dian sampai tidak punya alat komunikasi canggih yang sudah menempel di telapak tangan manusia masa kini. Lagipula, muda-mudi yang datang juga membawa ponselnya masing-masing kok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vila Kusuma
RomanceKematian Suri, sang sahabat seperjuangan tidak hanya membuat Dewangga berduka, namun juga merasa bersalah luar biasa. Perasaan itu membuatnya mengundurkan diri dari KAP Kusumajati, tempat dimana ia serta Suri berkarir untuk meraih mimpi-mimpi. Dewa...