6 - Mean

30 6 11
                                    

"Siapa yang mau maju lebih dulu?"

Hari itu, hujan deras baru saja selesai turun. Aku pikir pertemuan kami akan dibatalkan. Namun ternyata Tuhan masih memberikan kesempatan.

Di jam tiga, hujan sudah reda. Para pemudi dan pemuda datang di jam yang sama dengan sebelumnya. Ada sekitar sepuluh orang kali ini. Lebih banyak tiga orang daripada sebelumnya. Aku senang tentu saja.

"Ada voucher internet, lho," ujarku menarik perhatian mereka yang masih diam.

Sepertinya mereka masih malu-malu, atau takut salah bisa juga. Sebenarnya aku ingin memberi mereka dorongan dengan mengatakan kalau salah dalam belajar adalah hal biasa. Tidak perlu takut, karena setiap manusia pasti punya jatah gagal dan salahnya masing-masing. Namun urung kala mengingat aku juga seringkali takut membuat keputusan karena membayangkan berakhir dengan sebuah kesalahan. Bahkan pernah mengutuk diri sendiri hanya karena nilai yang tidak memuaskan.

Mas Bakti mengangkat tangan. Keberaniannya itu segera disambut sorak riang dan tepuk tangan dari yang lain. Aku pun juga memberi apresiasi yang serupa.

"Silakan, Mas Bakti."

"I'm good, I'm fine." Mas Bakti terlihat berpikir. Kami menunggu dengan tenang selama beberapa saat.

Pria jenaka itu terlihat kebingungan. Jadi aku memberinya dorongan. "Ayo, Mas. Tiga lagi."

"Aduh, lima banyak, ya?" keluh Mas Bakti.

Tapi Mas Bakti tidak menyerah. Ia berpikir sampai rambutnya gatal. Kamu harus lihat ekspresinya, Sur. Kami saja sampai tergelak.

"Ya sudah, tiga saja kalau begitu," ujarku memberi keringanan. "Kemarin, kan saya sudah kasih dua contoh."

"Oh, iya .... Gret."

Aku tertawa kecil mendengar pelafalannya yang salah. Bukan mengejek, tapi karena senang melihat Mas Bakti masih mengingat contoh yang aku berikan kemarin. Inilah yang menyenangkan dari belajar. Proses dari bisa jadi tidak bisa. Wajib diapresiasi meskipun belum sempurna. Makanya aku mengajak semua yang hadir untuk memberi Mas Bakti tepuk tangan paling kencang dan memberinya hadiah.

Sebuah kamus saku mungkin terlihat kurang menarik meskipun berguna. Makanya aku tambahkan voucher internet. Nanti baru akan aku pikirkan caranya supaya mereka mau membuka kamus itu. Menghafalkan sepuluh kata untuk disebutkan di pertemuan selanjutnya mungkin bisa jadi salah satu pilihan.

"Buat yang berani maju pertama kali, saya kasih kuota yang paling besar."

Semua kembali bersorak dan Mas Bakti tersenyum kegirangan sambil berujar, "lumayan, lumayan."

"Ada lagi?" tanyaku ketika keriuhan sudah mereda.

Arya, anak Pak Kades, mengangkat tangan dengan semangat. Penuh percaya diri seperti biasa. Jadi aku menunjuknya.

"Boleh, Arya."

"Not bad, I'm good, sama I'm very well, Mas Dewa."

Aku memberinya dua jempol. "Keren banget, Arya. Kalau bahasa Inggrisnya, you're so lit!"

Arya menerima hadiahnya dengan semringah. Pemuda seumuran Freya itu mengecup voucher internetnya dengan bangga seolah atlet yang mencium medali juara pertama. Kamu lihat mereka, kan, Sur? Mereka lucu sekali, ya?

Di kantor, biasanya kita melihat orang-orang berwajah kaku. Dahinya berkerut, dan tak tersenyum sama sekali. Dan bukannya bercanda, mereka malah mengeluh sakit perut karena telat makan. Kamu malas tidak melihat orang-orang seperti itu? Kalau aku iya.

Apa sih yang sebenarnya mereka kejar? Kok bisa sampai mengorbankan diri sendiri seperti itu? Namun parahnya, aku pernah melakukan hal yang sama seperti mereka.

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang