3 - Lamentation

32 4 18
                                    

Tidak ada anak bodoh di keluarga kami. Semuanya membuat bangga karena cerdas dan berprestasi. Tapi siapa sangka, ada anak yang tidak kuat kemauannya. Yang tidak tahu mau ke mana arah hidupnya. Yang hanya berakhir ikut-ikutan keluarganya.

Suri, kamu tahu keluargaku hampir semuanya berprofesi sebagai akuntan. Eyang Kakung, sebelum membangun vila dan menghabiskan masa tuanya di sana, adalah seorang akuntan terkenal. Ayah mengikuti jejaknya, dan mendirikan kantor akuntan publik bersama Ibu. Kantor yang juga menjadi tempat kita merintis karir.

Kakakku, sejak awal memang sudah bercita-cita menjadi akuntan hebat yang akan mengalahkan Eyang dan Ayah. Ia terus belajar, mengikuti banyak perlombaan, dan memperbanyak pengalaman. Sekarang, kerja kerasnya perlahan menunjukkan hasil. Adhinatha Kusumajati mulai diperhitungkan sebagai akuntan cerdas yang dipercaya menangani proyek besar.

Mas Natha punya banyak sertifikat bergengsi baik dari dalam maupun luar negeri. Ia bahkan mengejar gelarnya sampai ke Eropa. Lain denganku yang kuliah di PTN top three saja sudah bangga.

"KAP Kusumajati akan jauh lebih maju kalau kita yang pimpin, Wa."

Aku tersenyum miring kala mengingat yang dikatakan Mas Natha ketika aku diterima sebagai mahasiswa jurusan akuntansi. Kalau boleh mengaku, sebenarnya saat itu aku tidak bisa membayangkan apa yang ia katakan. Rasanya aku tidak yakin bisa memegang kantor akuntan yang sudah besar dan sering bekerja sama dengan perusahaan bonafit itu.

Suri, dulu aku tidak punya cita-cita sama sekali. Aku tidak tahu mau masuk jurusan apa. Bekerja di mana, dan sebagai apa. Semua terasa buram. Tapi aku terlalu malu untuk mengatakan yang sebenarnya ketika ditanya rencana ke depan.

Hanya ada kata 'akuntansi' yang lewat di kepala. Dunia itu sangat dekat denganku, dan selalu aku dengar setiap waktu. Tak heran kalau aku merasa, menjadi mahasiswa akuntansi setelah lulus SMA dan bercita-cita menjadi akuntan bisa menyelamatkanku dari pertanyaan orang-orang. Terbukti, mereka selalu tertawa dan mengatakan pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Tapi seiring berjalannya waktu, ketika tiba aku harus masuk kuliah, kondisi bukan hanya mengharuskan aku menjawab pertanyaan. Tapi juga menjalani apa yang dikatakan. Aku mendaftar tanpa keyakinan. Tapi yang mengejutkan, malah diterima menjadi mahasiswa dan dianggap menjadi calon akuntan.

"Aku sebenarnya ..., merasa salah jurusan."

Setelah bertahun-tahun berlalu, tepatnya di semester tujuh, akhirnya ada satu keluhan yang keluar dari mulutku. Dan yang mendengarnya adalah kamu.

Sebenarnya, aku sudah sering mengeluh. Mengeluh kepada diri sendiri atau guling di kamar. Aku tidak pernah berani mengatakan kepada siapapun kalau aku sebenarnya merasa tidak senang belajar akuntansi.

Masih terasa jelas dalam pikiran, ekspresi kagetmu waktu itu. Kamu pasti bingung. Nilaiku selalu bagus dan aktif menjawab pertanyaan dosen. Tapi malah mengatakan tidak cocok dengan jurusan ini.

Suri, sebenarnya aku hanya memaksakan diri. Kamu tidak tahu, kan, kalau aku berjuang mempelajari teori-teori yang membuat sakit kepala itu sampai larut malam? Aku membaca sambil menangis terisak dan sampai hidungku mimisan.

Semuanya aku sembunyikan sendiri karena merasa malu kalau sampai mengeluh. Pun untuk mengatakan ingin berhenti, aku benar-benar tak punya nyali.

Sebab aku tak akan bisa menjawab pertanyaan ayah yang selalu ingin memastikan anak-anaknya tidak mengambil keputusan yang akan mereka sesali. Kalau ditanya ingin berganti jurusan apa, aku tidak mungkin menjawab semua jurusan itu tidak ada yang menarik. Kalau ditanya ingin jadi apa, aku tidak mungkin menjawab semua profesi rasanya tidak ada yang bisa aku kerjakan dengan baik.

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang