7 - Option

31 4 15
                                    

Aku terbatuk hebat ketika menyibak gorden di kamar Eyang. Ya Tuhan, kok bisa debunya setebal ini. Berapa lama tidak dibersihkan? Jangan-jangan sejak Eyang meninggal?

Sudah jelas, aku akan kerja keras hari ini. Gorden-gorden besar nan berat itu aku lepaskan dari tempatnya. Lengkap dengan vitrasenya juga. Pun dengan selimut dan spreinya. Ya ampun, aku bahkan tidak tahu apakah mampu mencuci ini semua atau tidak.

Di sini tidak ada penatu. Sudah aku cari, dan benar-benar tidak ada. Menyebalkan memang. Akhirnya mau tidak mau, semua ini harus dibersihkan sendiri. Padahal aku sama sekali belum pernah memegang mesin cuci.

Dengan kenyataan bahwa dompet mulai menipis dan isi rekening yang mulai habis, aku harus menghemat pengeluaran. Apalagi soal pemasukan yang belum ada kejelasan. Hal seperti ini harus dibiasakan karena bisa jadi kedepannya aku tidak bisa membayar pembantu. Ya beginilah hidupku sekarang. Tak apa, namanya juga perjuangan.

Sambil memasukkan kain-kain kotor ke dalam tabung mesin cuci, angan-anganku melayang. Kira-kira ada tidak, ya, perempuan yang mau dengan penjaga vila miskin seperti aku ini? Aku rasa nama besar Kusumajati pun sudah tidak bisa diandalkan kalau dihadapkan dengan keturunannya yang bernama Dewa.

Mungkin yang mau hanya kamu, ya, Sur? Hehe ....

Lihat aku! Wajahku ini mirip dengan Mas Natha yang kamu puja-puja. Kami punya wajah perpaduan Ayah dan Ibu. Mewarisi kulit kuning langsat dari kedua orang tua, dan bentuk hidung yang bengkok seperti paruh beo dari Ibu. Aku dan kakakku sama-sama punya rambut hitam yang lurus, dengan tinggi yang sama. Bagaimana, kurang apa lagi?

Kalau secara jabatan dan gaji memang kalah. Aku yang cuma akuntan junior ini jelas tidak bisa dibandingkan dengan seorang auditor senior yang bahkan sudah jadi manajer departemen. Tapi tenang saja, aku akan mengupayakan apapun supaya kamu bahagia. Kalau kamu tidak bisa dapat Mas Natha, duplikatnya saja tidak apa-apa.

Aku tertawa sendiri, Suri. Tenang, aku cuma bercanda. Kalau wujudmu masih solid, pasti kamu sudah muntah saking gelinya. Kemudian memukulku hingga orang-orang mengira kita pasangan yang sedang bertengkar.

Aku mendesah. Lagipula sepertinya cuma kamu yang mau aku ajak hidup susah. Kalau aku bilang begini di Twitter, pasti sudah diserbu habis kaum hawa. Makanya aku cuma berani bilang ini di depanmu.

Kita pernah berbagi makanan di akhir bulan. Sepiring berdua. Aku pernah membayar makananmu, kamu pun juga. Sejak semester tujuh, kita berjuang bersama.

"Pakainya harus irit, buat chat saja," ujarmu sambil memberikan voucher internet satu giga setelah beberapa hari belakangan aku minta tethering terus-terusan.

Aku jelas tersenyum riang. Kalau di rumah, memang ada wifi. Tapi kalau sedang di luar, ponselku jelas terasa tidak berguna. Ponselku ini bagus karena hadiah dari Mas Natha. Aslinya, tidak ada kuotanya.

Dan hari itu, kamu membuatku terharu. Padahal aku tahu kamu juga sedang tidak ada uang.

"Suri, ayo keluar."

Itu adalah kode yang aku gunakan sebagai kata ganti 'aku ingin curhat'. Awalnya, ketika curhat dan bilang salah jurusan, aku hanya merasa sudah tidak sanggup lagi. Akhirnya kalimat itu keluar dengan sendirinya. Tapi melihat bagaimana caramu mendengar dan membuatku tenang, aku merasa bebanku jauh lebih ringan. Selanjutnya, kamu jadi satu-satunya tempat sampahku.

Suri ..., Suri. Kalau kita seiman, sudah kupacari kamu dari dulu.

Tidak, tidak. Aku bercanda. Pipimu pasti merah, ya?

Asal kamu tahu. Kamu bukan tipeku. Aku inginnya yang seperti Pevita. Pevitanya yang tidak mau denganku.

Yang seperti Pevita Pearce pasti maunya dengan Mas Natha. Aku memang tidak kalah tampan, tapi orang-orang lebih suka memuji Mas Natha. Aku sampai heran. Mata mereka ini masih sehat tidak sebenarnya? Mirip begini kok. Kamu juga sama saja seperti mereka. Dasar, Suri ....

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang