Katanya, maaf menyembuhkan dua orang sekaligus. Pantas saja berat sekali diucapkan. Terasa mempengaruhi gengsi jika dilakukan. Tapi setelah selesai, semuanya benar. Melegakan.
Pada akhirnya, aku mengalah. Menghubungi adikku lebih dulu supaya kaca-kaca tak kasat mata yang memisahkan kami pecah. Awalnya memang terasa tidak nyaman, namun berusaha aku abaikan. Sebab, rasa bersalahku lebih besar.
"Kalau ada waktu, main ke sini, Frey. Kolam ikanmu sudah ada koinya lagi," ujarku sambil memutar kamera. Menunjukkan ikan koi bermacam-macam corak dan warna yang berenang di dalamnya.
Awalnya, panggilan hanya berupa suara. Namun setelah kecanggungan melebur, Freya usul untuk beralih ke panggilan video. Kini aku bisa melihat wajah Freya dengan rambut berantakan. Sedang makan siang.
"Mauuu ...," sahutnya dengan bibir maju. "Tapi aku lagi ujian. Lihat, rambutku sampai mirip sarang burung gara-gara belajar terus dan nggak sempat ke salon."
Aku tertawa kecil. Bukannya memberi semangat supaya lebih giat mempersiapkan ujian, aku malah menunjukkan bentang perkebunan stroberi di depan vila. Lengkap dengan beberapa pengunjung yang sedang memetik buah kesukaan Freya di sana.
"Kalau nggak cepat-cepat, stroberinya keburu habis."
"Mas Dewa ...," ujarnya kesal. "Aku juga mau liburan!"
"Ya sudah. Nanti kalau sudah libur, bantu Mas di sini, ya?"
Niatnya aku ingin mematikan sambungan telepon supaya Freya bisa menikmati makan siangnya dengan tenang. Atau mungkin juga kembali belajar. Tapi adik yang selisih empat tahun dariku itu sepertinya tidak paham. Ia hanya diam seperti sedang berpikir.
"Mas matikan-"
"Mas Dewa." Freya bicara bersamaan denganku.
Aku diam menunggu. Freya tampak tak yakin dan sedang menimbang-nimbang. Kalau begini, aku jadi menebak-nebak apa yang akan ia katakan.
"Mas Dewa jangan marah, ya?" Freya berlagak sok imut. "Aku serius waktu bilang pengin Mas Dewa pulang."
Aku menghembuskan napas dalam. Dengan pikiran yang lebih jernih dan suasana hati yang lebih baik, kali ini aku tidak marah.
Freya kemudian buru-buru menyambung lagi, "bukannya aku nggak mendukung Mas Dewa. Aku support kok. Mas Dewa jangan salah paham dulu. Cuma ...."
Freya menggantung ucapannya. Aku menunggu selama beberapa saat, tapi ia sepertinya memang tak ingin melanjutkan.
"Kangen, ya?" aku memasukkan tangan ke dalam saku celana sambil tertawa ringan.
Di luar dugaan, Freya menjawab pelan, "iya."
"Dasar. Mau minta apa kamu? Mas Dewa nggak ada duit. Minta sama Mas Natha sana."
"Ah, pokoknya Mas Dewa harus cepat pulang. Aku nggak bisa bilang alasannya."
"Jangan bikin takut, Frey," sahutku agak bersungut.
Hening menjeda pembicaraan kami. Freya asyik menggigit bibir. Aku sibuk menebak-nebak. Apa berkaitan dengan Kusumajati lagi?
"Mas akan pulang. Tapi nggak sekarang."
"Kalau bisa secepatnya."
***
Lagi. Siapa sangka kalau hari ini aku dan Dian Ayu akan jalan berdua. Seperti sebelumnya, semuanya berjalan natural dan tanpa rencana. Terjadi begitu saja.
Semua berawal dari kedatangannya yang tiba-tiba. Aku yang sedang memberi makan ikan jelas terkejut karena tidak merasa mengirim undangan. Pun, ini hari Selasa. Tidak seharusnya ia datang kemari. Namun ya sudahlah. Setidaknya, ia datang dalam kondisi yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vila Kusuma
RomanceKematian Suri, sang sahabat seperjuangan tidak hanya membuat Dewangga berduka, namun juga merasa bersalah luar biasa. Perasaan itu membuatnya mengundurkan diri dari KAP Kusumajati, tempat dimana ia serta Suri berkarir untuk meraih mimpi-mimpi. Dewa...