13 - Time

28 6 0
                                    

Hujan tidak turun hari ini. Itu artinya, pekerjaanku bertambah untuk menyiram tanaman. Bukan hanya bunga-bunga di depan vila, tapi juga sayuran di halaman rumah.

Pekerjaan ini menyenangkan, sebenarnya. Aku senang sekali melihat pertumbuhan tanaman peliharaanku dari hari ke hari. Puas rasanya melihat perubahan dari sebuah biji yang kecil, menjadi tanaman yang besar dan berdaun lebat.

Suri, kamu juga harus melihat beranda-beranda vila. Setiap beranda, ditanami dengan bunga yang berbeda. Masih butuh waktu untuk sulur-sulurnya supaya bisa merambat memenuhi teralis. Tapi aku sudah tidak sabar melihat bunga-bunga itu mekar.

Vila nomor satu, ditanami mawar putih. Kini ia resmi berganti nama menjadi vila mawar. Vila nomor dua adalah vila matahari. Khusus yang ini, bukan tanaman rambat seperti yang lainnya. Tapi terlanjur dibeli karena aku lebih dulu tertarik dengan warna kuningnya yang terkesan ceria. Sedangkan vila ketiga adalah morning glory. Warnanya biru, seperti kesukaanmu. Yang keempat garlic vine. Menurut yang aku lihat di internet, bunga ini nanti akan berbentuk besar karena bergerombol. Dan terakhir alamanda. Supaya warnanya tidak sama dengan bunga matahari, aku memilih alamanda berwarna salem.

"Mas Dewa."

Aku menoleh. Dian datang dan berdiri di ambang gerbang. Wajahnya menunduk, dengan kedua tangan saling bertaut.

"Hai, Dian." Aku menyapa seramah mungkin. "Sini, masuk."

Gadis dalam balutan sweater biru muda itu berjalan mendekat. Masih dengan wajah yang belum mau terangkat.

"Kamu datang awal sekali. Maaf, ya, saya masih menyiram bunga."

Ini masih sekitar setengah empat. Wajar kalau aku bahkan belum menyiapkan tempat.

"Saya ..., saya mungkin bisa pelajari materinya dulu," ujarnya agak terbata.

Dengan anggukan, aku menjawab, "boleh. Rencananya saya mau mengajari membaca hari ini. Saya sudah siapkan cerita sederhana. Nanti kita dengarkan dan betulkan pelafalan mereka."

"Mas Dewa," Dian Ayu berujar dengan nada ragu. "Hari ini ..., saya masih belum berani mengajar sendiri di depan."

Kemarin aku memang membagi peserta yang hadir menjadi dua kelompok. Maksudku biar lebih efektif saja. Tapi ternyata Dian merasa tidak nyaman.

Dian yang pemalu, mungkin melihat berbicara di depan banyak orang sebagai sebuah tantangan besar. Tidak heran kalau ia masih butuh waktu untuk belajar dan mempersiapkan diri meskipun sudah membantuku di dua pertemuan ini.

Aku tersenyum dan mencoba memberikan keteduhan. "It's okay. Nanti bantu saya cek one on one saja. Bisa?"

Lagi-lagi, Dian menjawab dengan keraguan, "saya coba."

"Saya selesaikan ini dulu, ya? Kamu duduk dulu saja."

Dian kemudian berjalan menuju tangga di vila nomor dua. Di anak tangga ketiga, ia duduk di sana.

Beberapa saat, kami saling diam. Aku memutar otak untuk mencari topik pembicaraan. Namun hal ini menjadi lebih sulit karena terasa tidak ada yang bisa dibicarakan. Mudahnya begini, aku tidak tahu apa kesukaannya dan apa yang Dian hindari. Misalnya aku hanya basa-basi untuk menanyakan apa yang sedang ia kerjakan. Kalau ternyata Dian seorang pengangguran dan tersinggung dengan pertanyaanku, yang ada aku malah menambah musuh.

Hidup ini harusnya sederhana saja, kan? Tapi semakin ke sini aku justru merasa semuanya menjadi rumit. Semua orang menuntut dipahami tanpa mau memahami. Mereka ingin aku mengerti apa yang mereka suka dan benci, tanpa mau peduli bahwa aku tidak akan mampu mengingat itu semua satu persatu.

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang