"Mereka nggak ganggu kamu, karena kamu anak pemilik KAP ini, Wa."
"Ayah sama Ibu nggak pernah minta aku diperlakukan istimewa. Itu cuma pemikiranmu, Suri."
"Iya, tapi sedikit banyak orang-orang itu tetap menghormati kamu."
Kita berdebat lagi. Orang pikir persahabatan kita selalu menyenangkan dan jauh dari keributan. Dulu mungkin iya. Tapi semenjak resmi diterima sebagai karyawan di Kusumajati, kita jadi sering debat kusir. Sepertinya kita sama-sama lelah dan tertekan dengan padatnya pekerjaan. Awalnya aku pikir begitu.
Untuk kesekian kali, kamu mengatakan bahwa ada senior yang membuatmu menangis. Menurutmu, mereka mencari-cari kesalahan. Pekerjaanmu sudah benar, tapi mereka tetap mengkritik dengan kasar. Berulang kali aku katakan, yang kamu terima itu hanya didikan yang agak keras dari para senior. Tapi sekarang aku baru sadar, kalau hal itu memang tidak benar.
"Aku terus melakukan kesalahan, Wa. Mereka bilang aku nggak bisa kerja dan nggak pantas ada di sini."
"Kesalahan bisa diperbaiki, Sur. Ayolah, jangan begini."
Biasanya kalau sudah begitu, kamu hanya perlu menyendiri. Kemudian sehari setelahnya, bisa bangkit lagi. Dengan optimis ingin membuktikan kalau Suri Paradina memang pantas dan kompeten untuk menjadi akuntan di KAP sebesar Kusumajati.
Aku senang kalau kamu sudah bangkit lagi. Aku kuatkan lagi niatmu. Karena aku tahu betul, sejak dulu prestasimu dengan Mas Natha memang sebelas dua belas. Tidak lama lagi, mungkin kamu akan setara kelasnya dengan orang yang katamu membuat semangat masuk kerja itu.
"Aku sudah apply lamaran ke KAP lain, Wa. Semoga segera diterima."
Tapi di akhir, semangatmu meredup dan semakin padam. Niatmu sudah bukan membalas dendam dengan prestasi. Tapi bertahan di kantor ini hanya untuk portofolio. Jadi selama belum diterima di KAP lain yang lebih baik, atau setidaknya sama besarnya, kamu tidak ingin keluar.
Aku mulai merasa persoalan ini menjadi semakin serius. Mas Natha sudah tidak bisa aku jadikan ejekan untuk membuatmu tetap tinggal. Aku bingung. Rasanya tidak bisa membayangkan bagaimana kantor ini tanpamu. Mungkin aku akan lembur sendiri, tanpa mendengar celotehanmu. Hanya ditemani suara percakapan dalam bahasa Jepang dari anime yang aku putar.
Dewa, aku tahu kamu hebat. Sama hebatnya dengan Mas Natha, ayah, ataupun ibumu. Freya bangga punya Mas Dewa. Dia pernah bilang begitu.
Pesan terakhir darimu masih aku ingat dengan jelas setiap susunan katanya. Dan setiap membacanya, masih membuatku meneteskan air mata. Jangankan membaca, mengingatnya saja bisa membuatku menangis. Seperti saat ini.
Mataku basah ketika bangun. Kamu datang lagi ke mimpiku membawa rasa bersalah. Tidak apa, lakukan saja, Suri. Aku memang salah. Kalau menghantuiku adalah hukuman darimu, aku terima.
Belum selesai berurusan dengan air mata, ponselku berdering nyaring. Aku menghela napas panjang sebelum meraih benda yang tergeletak di sebelahku itu. Telepon dari ibu.
"Aku sehat, Bu," jawabku ketika ibu membuka percakapan dengan menanyakan kabar. "Di sini menyenangkan ternyata."
Aku memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur. Meneguk teh yang sudah dingin, kemudian berjalan ke arah jendela. Kabut belum datang. Hari masih cerah, namun petang hampir menjelang. Aku tidur siang terlalu lama ternyata.
"Kamu nggak mau pulang?"
"Ibu nangis, ya?"
Alih-alih menjawab, aku malah melempar ibu dengan pertanyaan. Ada isak pelan ketika ia mengucapkan syukur atas kondisiku. Aku pikir hanya salah dengar. Namun ketika ibu bilang 'pulang', isakan itu lolos makin jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vila Kusuma
RomanceKematian Suri, sang sahabat seperjuangan tidak hanya membuat Dewangga berduka, namun juga merasa bersalah luar biasa. Perasaan itu membuatnya mengundurkan diri dari KAP Kusumajati, tempat dimana ia serta Suri berkarir untuk meraih mimpi-mimpi. Dewa...