"Setiap berdua sama Mas Dewa, saya merasa dijaga kakak."Aku tertawa kecil mendengar pengakuan yang terlampau jujur itu "Mungkin karena saya memang seorang kakak. Jadi secara nggak sadar memperlakukan kamu seperti adik. Kebetulan, adik saya juga perempuan."
Lucu. Dian mengaku hanya karena aku mengikutinya ke sana kemari untuk memanen stroberi. Membawakan keranjang untuk menampung buah ranum berwarna merah itu. Katanya, aku sabar sekali.
Seperti biasa, Dian datang secara tiba-tiba. Ia merusak tidur siangku yang tanpa mimpi dengan bunyi bel yang ditekan berulang. Mengacaukan konser musik instrumen Ghibli yang membuaiku penuh ketenangan.
Gadis itu datang dengan setumpuk buku bergambar lucu. Fabel; cerita hewan-hewan untuk anak berbahasa Inggris.
"Kebetulan saya belum ada ide untuk materi minggu depan. Gimana kalau kita bahas buku-buku ini sekarang?"
Tak ada penolakan. Akhirnya aku duduk di beranda bersama Dian. Berhadapan, dan dihalangi sebuah meja kayu. Mengobrol sambil mencoret-coret kertas untuk mencatat ide. Termasuk membuat pertanyaan dan merancang permainan. Terus begitu, sampai satu jam berlalu dan aku sadar belum menyuguhkan apapun untuk si tamu.
"Dian, saya nggak punya apa-apa di rumah. Gimana kalau kita petik stroberi? Kebetulan sudah masuk masa panen."
Ajakan sederhana itu ternyata membuat Dian bersemangat. Dari ekspresi wajah memang tak banyak berubah. Namun tubuh kecilnya terus bergerak dengan aktif. Dian Ayu menelusuri setiap karung bekas yang dimanfaatkan sebagai tempat tumbuhnya tanaman stroberi; semacam pengganti pot. Kemudian menyibak daun-daun tanaman perdu itu satu persatu.
Setiap melihat ada stroberi yang sudah berubah warna menjadi merah terang, ia akan datang. Berbekal gunting di tangan kanan, Dian berburu stroberi sampai keranjang yang aku bawa hampir penuh. Meski begitu, ia tampaknya masih belum mau berhenti sebelum semua stroberi di kebun habis. Aku pun tak ingin membuatnya kecewa dengan mengajaknya pulang. Meskipun sebenarnya sejak tadi aku terus berpikir akan diapakan stroberi sebanyak ini.
"Gimana rasanya punya adik?"
Aku ikut berjongkok di sebelah Dian. Ada beberapa stroberi yang gendut menggantung di tangkainya. Bunga-bunga putihnya pun turut bermekaran juga.
"Kadang menyebalkan karena saya harus mengalah." Aku menunjuk satu stroberi yang bersembunyi di balik daun-daun hijau.
Dian terlihat sangat menikmati kegiatan ini. Aku sampai tidak tega memetik satu pun stroberi. Biar Dian saja.
Aku melanjutkan, "tapi saya juga senang karena bisa banyak belajar dari Freya."
"Freya?" Dian menatapku dengan kedua mata yang melebar. "Dewi Nordik."
"Iya," sahutku. "Dewi cintanya ayah sama ibu, katanya."
Kehadiran Freya tanpa rencana. Ayah sangat mengkhawatirkan Ibu yang saat itu sudah masuk usia dengan risiko tinggi untuk melahirkan. Ibu tak banyak bicara. Tapi jelas kalau kehadiran janin di perutnya membuat Ibu galau juga.
Namun setelah tahu calon adikku adalah perempuan, Ayah dan Ibu malah gembira. Mereka menganggap doanya dikabulkan. Sebab, sebenarnya orang tuaku telah lama mengharapkan anak perempuan. Nama 'Freya' yang telah disiapkan sejak aku belum lahir jadi bisa digunakan.
"Dulu kalau saya minta adik, Ibu selalu bilang, 'nanti, kalau sudah besar.'" Dian menanggapi ceritaku sambil menatap ke arah langit.
Matahari bersinar cerah siang ini. Menghangatkan tanah yang terus-terusan diguyur hujan. Mengizinkan kami menanggalkan baju-baju tebal yang sejak beberapa hari lalu membungkus badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vila Kusuma
RomansaKematian Suri, sang sahabat seperjuangan tidak hanya membuat Dewangga berduka, namun juga merasa bersalah luar biasa. Perasaan itu membuatnya mengundurkan diri dari KAP Kusumajati, tempat dimana ia serta Suri berkarir untuk meraih mimpi-mimpi. Dewa...