8 - Hate

46 5 13
                                    

Suri, sepertinya Dian Ayu telah masuk ke dalam pikiranku tanpa permisi. Kamu tahu? Kemarin, tanpa sengaja aku melihat sudut bibirnya terluka. Setelahnya, sepanjang pelajaran aku mencuri pandang ke arahnya. Memastikan kalau luka berbentuk darah kering yang membiru itu tidak parah sambil mencoba menebak dari mana dia mendapatkan lukanya.

Sepertinya aku memang sudah mulai menjadi akamsi, anak kampung sini. Aku mulai meninggalkan gaya perkotaan yang tidak mau mengusik privasi, dan ingin tahu kehidupan orang lain. Tapi sungguh, aku tidak berniat buruk. Hanya khawatir.

Kemarin, dia pulang terburu-buru lagi. Larinya kencang sekali seperti Freya saat masih kecil. Agak terlihat aneh ketika melihat seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahunan, berlari sekencang itu tanpa ada sesuatu yang berbahaya. Freya bahkan sudah lama tidak terlihat berlari sekencang itu meskipun benar-benar perlu.

Saking terburu-buru, Dian Ayu meninggalkan hadiahnya. Kemarin aku memaksanya menjawab pertamyaan lagi, dengan tujuan yang sama seperti sebelumnya. Dan menurutku, dia cukup cerdas dibanding peserta lain. Kemarin aku sudah memberinya pujian karena mahir dalam menjawab kabar. Tapi selain itu, dia juga bisa menulis kalimat dalam bahasa Inggris dengan ejaan yang benar. Kami bahkan memberi contoh percakapan sehari-hari. Tanpa teks, dan dia dapat berbicara dengan lancar seolah bahasa Inggris telah menjadi bahasa kedua.

Aku malah jadi mempertanyakan motivasinya mengikuti kelas ini. Maksudku, dengan kemampuan sebagus itu, kelas yang aku buka hanya terkesan buang-buang waktu. Ini jelas kelas untuk pemula. Tidak bisa mengimbangi kemampuannya.

"Permisi." 

Di depan rumah dengan papan bertuliskan 'praktik dokter umum dr. Danuja Pramono', aku mengetuk pintu. Kata Arya, ini rumah Dian Ayu. 

Fasad rumah ini tidak spesial. Bentuknya seperti rumah yang kita gambar ketika masih kecil. Benar-benar seperti itu. Satu pintu di tengah, diapit jendela di kanan kiri. Bangunan ini tidak tampak besar kalau dilihat dari depan. Entah bagaimana kalau diukur sampai belakang.

Ada halaman kecil. Tapi sayangnya tampak gersang. Ada beberapa tanaman yang hanya menyisakan batang. Bahkan pot-pot yang menyisakan tanahnya saja. Terkesan agak kotor. Apalagi dengan keberadaan pohon rambutan yang memang bisa berfungsi sebagai peneduh, namun juga mengotori halaman dengan guguran daunnya.

Seorang wanita setengah baya membukakan pintu. "Ya?"

"Pagi, Bu. Saya Dewa, temannya Dian Ayu."

Tidak bisa benar-benar dibilang teman sebenarnya. Kami bahkan belum pernah berbicara dengan intens. Namun biar cepat saja.

Ibu itu tersenyum ramah. "Oh, ini Mas Dewa yang tinggal di vila Eyang Yudho, ya?"

Ternyata orang-orang sudah mulai bergosip tentang aku, Suri. Padahal keluar rumah saja jarang-jarang. Berbicara dengan mereka juga bisa dihitung dengan jari. Kok bisa berita tentangku menyebar sedemikian cepat, ya? Detektif mereka lihai juga rupanya.

Aku mengangguk dan membalas senyumnya. "Benar, Bu."

"Cucunya Eyang Yudho dari kota, ya?"

"Iya, Bu." 

Detektif keluarga Dian tak kalah handal rupanya. Mereka sampai bisa tahu identitasku. Padahal ibu penjual bakso kemarin hanya mengira aku tak lebih dari seorang pengunjung. 

Daripada makin melebar ke mana-mana, aku langsung bertanya saja, "Dian Ayu ada di rumah, Bu? Saya mau bertemu."

"Dian lagi nggak di rumah." Ibu Dian tampak menyesal. "Ada perlu apa memangnya?"

"Ini ...."

Kalimatku terputus ketika aku tanpa sengaja melihat Dian. Ia muncul dari balik gorden yang membatasi antara ruang tamu dengan ruangan lain di belakangnya. Namun kala melihatku, dia terkejut dan mundur lagi.

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang