"Mango!"
"Salah!"
Rabu sore yang cerah itu terasa semakin semarak dengan pertengkaran Adit dan Rani. Gadis cilik yang selalu bersemangat itu menjawab pertanyaanku dengan benar. Namun Adit yang tak bisa tenang jika tidak melihat Rani kesal terus saja mengganggu.
Rani menggulung buku tulisnya dan bersiap memukul Adit. Anak laki-laki dengan senyum jahil itu pun sudah siap melindungi diri. Tapi untungnya, pergerakan tangan Rani kalah cepat dengan Dian yang buru-buru mencegah.
"Nggak boleh pukul, ya? Rani jangan seperti ini, ya?" ujar Dian terasa agak panik.
Merasa kekesalannya belum tuntas dan malah dimarahi pula, Rani melipat tangan di depan dada. Bibirnya tertekuk ke bawah, menunjukkan ekspresi seolah paling tersakiti. Dian yang duduk di belakang mereka kemudian mengusap rambutnya pelan.
"Mas Dewa mau suruh Rani hukum Adit," ujarku mengagetkan semua orang. Rani mengangkat wajahnya, ingin tahu.
Aku melanjutkan, "Rani boleh kasih pertanyaan ke Adit."
Seketika, senyumnya kembali. Rani mendekat ke arahku dan mengambil salah satu dari tiga kartu bergambar buah yang aku sodorkan. Ia kemudian mengangkat kartu bergambar belimbing dengan semangat dan ekspresi penuh kemenangan.
"Kenapa pertanyaanku susah?"
Aku tergelak. Wajah Adit yang tidak terima membuat kami semua tertawa. Dan tentu saja, Rani yang paling keras suaranya.
"Kalau nggak bisa jawab, Adit boleh tanya sama teman yang lain. Termasuk Rani."
Adit berbalik dan mulai menanyai satu persatu teman-temannya. Semuanya, kecuali Rani. Yang lucu, tak ada yang bisa menjawab. Dan sepertinya, Rani malah yang tahu. Sebab gadis itulah yang sedari tadi tertawa kecil di sebelahku, menertawakan usaha Adit.
Tidak banyak yang datang hari ini. Hanya sekitar delapan orang termasuk Adit dan Rani. Sebagian besar juga masih malu-malu dan tak mau banyak bicara. Bahkan disogok dengan makanan pun, mereka hanya melihat tapi tak berani mengambil meskipun ingin.
Di tengah jeda itu, aku tak sengaja menangkap Dian yang menatapku. Tanpa senyum, tanpa ekspresi yang berlebihan. Selama sepersekian detik, kami saling tatap. Cepat sekali, sebelum akhirnya Dian menunduk dan memutus terlebih dahulu.
Ia terkejut dan semakin salah tingkah ketika Adit tiba-tiba bertanya, "jawabannya apa, Mbak Dian?"
Belum sempat Dian yang gelagapan menjawab, Adit berbalik ke arahku dan berujar dengan percaya diri, "Mbak Dian juga temanku, ya, Mas. Jadi aku boleh tanya ke Mbak Dian juga."
"B-boleh."
Pikiranku rasanya tak berjalan semestinya. Harusnya aku melarang karena yang dilakukan Adit curang. Tapi alih-alih menjawab 'tidak', aku malah mengiyakan.
Lihatlah wajah Dian, Suri. Pipinya merona serupa senja di cakrawala. Gadis cerdas itu tiba-tiba tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana. Adit sampai harus mengulangi dua kali. Dan pada akhirnya ia menjawab dengan terbata-bata. Lucu sekali.
Tapi, tolong lihat wajahku juga, Suri. Kenapa tiba-tiba terasa panas, ya?
"Star fruit!"
Adit berseru dengan suara keras. Aku bertepuk tangan dan menunjukkan dua jempol. Tak lupa memberi sebungkus keripik kentang sebagai hadiah.
"Good job, Adit!"
Tanpa sengaja, aku melihat ibu Rani datang dari arah gerbang. Ia tersenyum ramah seperti biasa, dan aku pun membalasnya. Wanita yang aku taksir umurnya di penghujung dua puluhan itu pasti ingin menjemput anaknya. Aku terlambat menyadari kalau hari sudah beranjak gelap. Kelas hari ini harus segera disudahi.
![](https://img.wattpad.com/cover/323961745-288-k465752.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Vila Kusuma
RomanceKematian Suri, sang sahabat seperjuangan tidak hanya membuat Dewangga berduka, namun juga merasa bersalah luar biasa. Perasaan itu membuatnya mengundurkan diri dari KAP Kusumajati, tempat dimana ia serta Suri berkarir untuk meraih mimpi-mimpi. Dewa...