20 - Casuarina

36 5 3
                                    

"Kopi, Pak."

Aku meletakkan dua gelas kopi yang masih mengepul di atas meja. Bau kafein yang khas langsung terhidu di beranda. Di sebelahnya, aku juga menghidangkan sepiring pisang goreng. Makanan yang baru-baru ini membuat rakyat heboh karena dinobatkan menjadi makanan penutup terenak di dunia.

Setelah berhari-hari menghilang, akhirnya Pak Hadi bisa dijumpai lagi. Aku memanggilnya untuk datang ke rumah. Di siang yang cerah ini, akhirnya dia bisa datang juga. Meskipun sempat beralasan tak jelas dua kali.

"Ternyata vila ini masih laku, ya, Mas?" ujarnya sambil menyesap kopi.

Aku ikut menoleh ke arah halaman vila. Tempat itu kini terasa begitu meriah dan ramai. Maklum, satu keluarga besar sedang berkumpul di sana. Salah satu yang menyumbang suara adalah anak-anak kecil yang sedang berlarian dan bercanda dengan sepupunya. Pekik tawa mereka membuat suasana menjadi semakin semarak. Meskipun terkadang diselingi tangis yang sama kerasnya. Heboh sekali.

Setelah menginap semalam, sore nanti mereka pulang. Jadi, acara puncak memang digelar sekarang. Makan bersama saudara satu trah. Sengaja aku memanggil Pak Hadi untuk menyaksikan momen ini. Supaya ia bisa melihat sendiri kalau Vila Kusuma sekarang sudah jauh lebih baik. Dan itu semua, tanpa kontribusi darinya. Tapi itu pun kalau hatinya belum mati dan masih bisa merasa.

"Padahal angker, ya, Pak?" sindirku santai.

Pak Hadi melirikku singkat. Aku pura-pura tidak melihat. Kesal sekali rasanya melihat orang kepercayaan keluarga Kusumajati berbicara seperti itu dengan ringan. Bahkan cenderung meremehkan. Padahal vila ini hampir hancur juga karena ia yang tidak menjalankan tugasnya. Pak Hadi sepertinya tidak sadar kalau yang baru saja ia bilang tidak laku ini adalah sumber penghidupan keluarganya sejak bertahun-tahun lalu.

"Pak Hadi, sekarang yang pegang vila bukan Ayah lagi, tapi saya."

Pria gempal berusia lima puluhan itu tak banyak bereaksi. Ia hanya menatapku sambil menikmati kopi. Tak ada raut ingin tahu atau setidaknya peduli. Bahkan seolah tak ada yang menarik dari pembicaraan ini.

"Ayah menyerahkan Vila Kusuma untuk saya kelola. Jadi saya yang bertanggung jawab sekarang," lanjutku.

Pak Hadi mengangguk-angguk, lalu meletakkan gelasnya di atas meja. "Berarti sekarang Mas Dewa yang gaji saya?"

Aku tertawa kecil. Alih-alih lucu, sebenarnya aku hanya menutupi rasa heran. Orang ini isi pikirannya duit semua.

"Itu yang mau saya bicarakan, Pak."

Aku terlebih dahulu membasahi lidahku dengan pahitnya kopi sebelum masuk ke pembicaraan inti. Kalimat-kalimat sudah terancang di pikiran. Siap untuk dikatakan. Hanya saja aku belum memperkirakan reaksi seperti apa yang akan Pak Hadi lakukan.

"Saya mau memastikan kalau Pak Hadi masih mau bantu saya di sini."

"Memangnya selama ini saya tidak membantu?"

Apa masih perlu dijawab?

Kini Pak Hadi tampak gusar. Alisnya hampir menyatu dan wajahnya mulai terlihat kesal. Baru bertanya. Aku bahkan belum memecatnya secara resmi. Tapi terlihat sekali kalau pria di depanku ini merasa terancam. Mungkin baru saja mendapat gambaran mengenai kesalahan yang ia lakukan.

"Pertama kali saya datang, vila ini kotor sekali. Pak Hadi juga lihat, kan?"

Baiklah kalau dia belum paham. Biar aku pahamkan. Malas sebenarnya harus menjabarkan satu persatu. Kesal, dongkol dan merasa dibohongi. Kami tidak pernah menolak permintaan Pak Hadi. Gaji tiga bulan dirangkap satu bulan pun kami turuti. Berhutang juga kami beri. Tapi dia kok tega sekali.

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang